Bisnis, JAKARTA – Di tengah persaingan industri baja yang semakin penuh tantangan, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. berupaya melakukan restrukturisasi untuk meningkatkan kinerja dan daya saing. Untuk mengetahui mengenai fakta dan perkembangan restrukturisasi yang dijalankan, Bisnis mewawancarai Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim. Berikut petikannya:
Upaya restrukturisasi Krakatau Steel tengah menjadi sorotan publik, apa sebenarnya alasan yang mendasari langkah tersebut?
Krakatau Steel (KS) itu persoalannya tidak muncul dalam kurun 1 atau 2 tahun belakangan, tetapi sudah sekitar 8 tahun yang lalu dan terbukti selama 7 tahun terakhir rugi.
Ada beberapa hal yang sudah tidak bisa dihindari lagi untuk restrukturisasi, selain rugi, juga disebabkan adanya utang yang besar yaitu sekitar US$2,6 miliar. Hal-hal tersebut menjadi faktor internal.
Untuk faktor eksternalnya ada industri baja dunia, dan ada pasar baja dunia. Ada China yang cukup agresif masuk ke pasar baja dunia. Kalau bicara China biasanya yang menjadi fokus adalah soal harga.
Jepang dan Korea sudah mengantisipasi sejak akhir 1990-an untuk menghadapi perkembangan industri di China, khususnya baja sehingga mereka sudah melakukan restrukturisasi sejak saat itu. Adapun, KS tidak melakukan itu , yang ada justru utangnya membengkak, dan kami harus membayar utang tersebut.
Kondisi ini semakin dipersulit dengan kebijakan yang dianggap tidak bisa membuat industri baja dalam negeri bisa survive dan terbukti banyak yang kolaps, atau tidak berproduksi lagi.
Padahal, industri baja untuk negara-negara maju sangat vital peranannya. Tidak ada negara maju yang tidak punya industri baja. Kenapa? Karena baja adalah mother of industry. Jadi, tidak tepat juga kalau karena tidak efisien atau tidak baik, maka ditutup saja , dan tidak usah bisnis di baja lagi. Industri baja harus diselamatkan.