Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Inalum Bakal Putuskan Langkah Pengembangan Tanah Jarang dalam 18 Bulan

PT Inalum (Persero) menyatakan keputusan terkait pabrik dan mitra dalam mengembangkan logam mineral tanah jarang atau rare earth di Indonesia akan diputuskan dalam 18 bulan ke depan.
Penambangan bauksit di Bintan, Kepulauan Riau./Antara-Niko Panama
Penambangan bauksit di Bintan, Kepulauan Riau./Antara-Niko Panama

Bisnis.com, JAKARTA -- PT Inalum (Persero) menyatakan keputusan terkait pabrik dan mitra dalam mengembangkan logam mineral tanah jarang atau rare earth di Indonesia akan diputuskan dalam 18 bulan ke depan.

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan saat ini pihaknya masih melakukan riset untuk mengidentifikasi cadangan logam tanah jarang di Indonesia. Inalum melakukan ekstraksi pada potensi logam tanah jarang yang terdapat pada timah dan bauksit. 

"Kami masih hitung supaya angkanya [cadangan] pasti. Sekarang lagi dikirim ke lab," katanya, Senin (8/7/2019). 

Menurutnya, logam tanah jarang merupakan mineral strategis karena mampu digunakan sebagai bahan membuat berbagai macam barang mulai dari teknologi mutakhir (advance technology) hingga peralatan militer. Selama ini, China merupakan negara terbesar di dunia yang memproduksi logam tanah jarang dengan persentase 60 persen sampai 70 persen dari total produksi dunia. 

Budi meyakini apabila Indonesia mampu memproduksi logam tanah jarang, maka akan menjadi pesaing China. Selain itu, posisi Indonesia pun akan diperhitungkan terkait konflik dagang yang kerap terjadi antara Amerika Serikat dan China. 

"Kayak Amerika Serikat sekarang kan tersandera," katanya.

Logam tanah jarang baru-baru ini memang menjadi salah satu barang yang ramai diperbincangkan dalam kaitannya dengan perang dagang. Pasalnya, China menggunakan logam tanah jarang sebagai ‘senjata’ untuk menghadapi AS.

Mengutip data dari United States Geological Survey (USGS), tahun lalu China menjadi negara dengan produksi tanah jarang terbesar dengan 120.000 ton atau mencapai 70,59% dari total produksi dunia sebanyak 170.000 ton. Berada di belakang China Australia dengan 20.000 ton, AS 15.000 ton, Myanmar 5.000 ton, Rusia 2.600 ton, India 1.800 ton, Thailand 1.000 ton, Brazil 1.000 ton, Burundi 1.000 ton, Vietnam 400 ton, dan Malaysia 200 ton.

Dari sisi cadangan pun China merajai dengan 44 juta ton atau 36,67% dari total cadangan dunia sebanyak 120 juta ton. Sementara itu, meskipun produksinya masih rendah, Brazil dan Vietnam menempati posisi kedua dengan cadangan sebanyak 22 juta ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper