Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) berharap Indeks Nikel Indonesia (INI) bisa mendongkrak harga jual bijih nikel dalam negeri yang jauh berada di bawah harga patokan mineral (HPM).
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Logam dan Batu Bara telah mewajibkan penjualan mineral logam, termasuk nikel, untuk berpedoman pada HPM. Namun, dalam praktiknya harga jugal bijih nikel untuk smelter domestik jauh di bawah HPM.
Meidy menjelaskan total biaya produksi bijih nikel sekitar US$16,57 per metrik ton. Jumlah tersebut sudah termasuk biaya-biaya terkait lingkungan.
Adapun HPM Juni 2019 free on board (FOB) untuk nikel dengan kadar 1,7% senilai US$26,66 per metrik ton. Namun, harga jual domestik FOB hanya US$15 per mertrik ton.
"Kalau dibandingkan dengan ongkos produksi, kelihatan kan ada untungnya apa tidak. Sementara untuk royalti kami bayar sesuai HPM," katanya, Kamis (4/7/2019).
Sementara itu, harga nikel kadar 1,7% yang diekspor dengan skema FOB bisa mencapai US$30 per metrik ton. Kondisi serupa terjadi untuk nikel dengan kadar yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, tutur Meidy, perusahaan berlomba-lomba untuk mendapatkan kuota ekspor daripada harus menjual di dalam negeri. Hal tersebut membuka peluang adanya kecurangan dalam proses ekspor.
"Bisa saja asal bijihnya bukan berasal dari tambang sendiri tetapi mengatasnamakan smelter, sehingga dapat harga murah terus diekspor," tuturnya.