Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Indef : Jaga Target Inflasi, Ini yang Harus Dilakukan Pemerintah di Semester II

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengharapkan pada Semester II tahun ini pemerintah bisa tepat dalam pemilihan waktu, ketika memutuskan mengimpor komoditas pangan tertentu guna menjaga stabilitas inflasi dari segi pangan.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara (kanan) dan Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Hafidz Arfandi memberikan paparan dalam diskusi bertajuk Di Bawah Bayangan Perang Dagang & Ancaman Defisit Berkepanjangan, di Jakarta, Selasa (18/6/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara (kanan) dan Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ) Hafidz Arfandi memberikan paparan dalam diskusi bertajuk Di Bawah Bayangan Perang Dagang & Ancaman Defisit Berkepanjangan, di Jakarta, Selasa (18/6/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengharapkan pada Semester II tahun ini pemerintah bisa tepat dalam pemilihan waktu, ketika memutuskan mengimpor komoditas pangan tertentu guna menjaga stabilitas inflasi dari segi pangan.

Pasalnya, lanjut dia, fokus utama pemerintah pada semester kedua tahun ini adalah harus menjaga stabilitas inflasi bahan pangan. Pasalnya, kelompok bahan pangan masih menjadi faktor penyumbang inflasi paling dominan pada Juni tahun ini. 

Menurut Bhima yang bisa dilakukan pemerintah adalah menjaga inflasi bahan pangan. Apalagi terdapat pelajaran penting yang bisa di pemerintah dari berhasilnya pengendalian harga bawang putih di Juni, di mana diketahui pada Mei, harga komoditas ini sempat naik cukup tinggi, tapi Juni turun.

Menurutnya, saat itu impor bawang putihnya bisa terdistribusi dengan baik pada Juni. Jadinya harga mulai stabil dengan pasokan relatif aman. "Artinya di semester II, pemerintah jangan sampai terlambat  melakukan impor yang memang diperlukan untuk menjaga stabilitas inflasi, dari segi pangan," terangnya,  kepada Bisnis.com, Senin (1/7/2019).

Selain itu pemerintah juga harus mewaspadai potensi risiko inflasi dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik. "Ini yang harus kita khawatirkan terjadi di semester ke dua ini," ujarnya.

Menurutnya, kenaikan harga bbm dan tarif dasar listrik berpotensi dilakukan pemerintah pada semester kedua tahun ini karena melihat postur fiskal saat ini yang kondisinya mulai kurang sehat dengan defisit yang melebar.  "Maka salah satu cara yang bisa dilakukan pemerintah itu adalah menaikkan harga BBM itu, untuk mengurangi beban subsidi energi," ujarnya.

Oleh sebab itu, apabila kebijakan kenaikan harga bbm dan tarif dasar listrik benar benar diambil pemerintah, maka dipastikan dampak bagi inflasi cukup tinggi.  "Karena kalau BBM dan listrik naik, bisa membuat ongkos transportasi juga naik, yang mana pada ujungnya dapat berimbas kepada kenaikan harga pangan," tegasnya.

Menurut Bhima, apabila tarif bbm dan listrik naik, dampaknya bisa membuat target laju inflasi tahun ini yang dipasang sebesar 3,5% bisa meleset. "Tapi itu apabila terjadi penyesuaian BBM.  Tapi kalau tidak ada penyesuaian BBM dan listrik, maka komponen yang harus diwaspadai adalah volatile food dan angkutan udara yang harus jadi konsen utama," ujarnya.

Menurutnya kelompok transportasi dari sisi angkutan udara, meskipun Juni mengalami deflasi, namun ke depan masih berpeluang kembali inflasi. 

"Dari sisi angkutan udara, Juni kan sedikit menurun, tapi ini sifatnya temporer, karena orang sudah beli tiketnya itu sebulan sebelumnya. Jadi Juni wajar kalau terjadi deflasi. Tapi overall harga tiket pesawat itu masih relatif mahal, jadi pasca-Juni, tiket pesawat tetap bisa mulai menyumbang inflasi lagi," terangnya.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa laju Inflasi Juni 2019 mencapai sebesar 0,55% dengan inflasi tahun kalender 2,05% dan inflasi tahun ke tahun mencapai 3,28%. 

Adapun penyumbang inflasi terbesar didorong oleh kenaikan kelompok pengeluaran, yakni bahan makanan 1,63%, sandang 0,81%, dan makanan jadi minuman rokok dan tembakau 0,59%. 

Sementara itu, pada kelompok pengeluaran yang justru mengalami penurunan indeks adalah transportasi, komunikasi dan jasa keuangan dengan andil deflasi sebesar 0,14%. Komoditas yang dominan memberikan andil deflasi pada kelompok ini yakni tarif angkutan udara sebesar 0,04%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Riendy Astria

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper