Bisnis.com, JAKARTA - Kendati harga batu bara kalori tinggi mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir, PT Bukit Asam Tbk. tetap mempertahankan target produksi batu bara jenis tersebut pada tahun ini sebanyak 3,5-4 juta ton.
Direktur Utama PTBA Arviyan Arifin mengatakan produksi produksi PTBA secara keseluruhan masih tetap sesuai rencana, termasuk untuk batu bara kalori rendah. Menurutnya, produksi batu bara kalori tinggi tersebut akan membantu mendongkrak kinerja PTBA hingga akhir tahun.
"Kalori tinggi tetap kita naikkan. Dari target sekitar 3,5-4 juta ton tahun ini, sampai Juni sudah separuhnya," tuturnya, baru-baru ini.
Dia mengatakan harga batu bara kalori tinggi memang tengah mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir. Hal tersebut tecermin dari indeks NewCastle sebagai acuannya yang sedang melemah.
Namun, Arviyan menjelaskan keuntungan yang diperoleh dari batu bara kalori tinggi tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan kalori menengah. Oleh karena itu, kendati harganya tengah turun, margin yang diperoleh tetap tinggi.
"Walaupun turun tapi batu bara kalori tinggi kita tetap lebih baik dari yang kalori menengah. Kalori mengenah marginnya masih lebih kecil," ujarnya.
Dengan strategi tersebut, ada peningkatan rasio pengupasan (stripping ratio/SR) sepanjang kuartal I/2019 dari 4,2 menjadi 4,3. Adapun SR hingga akhir tahun bisa naik hingga 4,8.
"SR memang akan lebih tinggi, tapi marginnya tinggi juga. Kalau dihitung, peningkatan cash cost-nya gak masalah karena ini memang by design," tuturnya.
Sebelumnya, Direktur Niaga PTBA Adib Ubaidillah mengatakan sepanjang tahun lalu volume produksi batu bara kalori tinggi PTBA masih di bawah 1 juta ton.
"Untuk penjualan batu bara medium to high kita masuk pasar Taiwan, Filipina, kemudian Malaysia, di sampaing pasar tradisional ke Jepang," katanya.
Ke depan, tambahnya, PTBA akan mengincar pasar batu bara kalori tinggi untuk smelter di dalam negeri. Saat ini, kebanyakan batu bara yang digunakan berasal dari Australia.
"Pasar domestik kan belum banyak. Nanti kalau kebutuhannya sudah banyak dan batu bara kita berhasil diserap, pasti kita prioritaskan untuk pasar domestik," tuturnya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan ada kekhawatiran harga batu bara masih berada dalam tren negatif pada semester II/2019. Khusus untuk harga batu bara acuan (HBA) Indonesia, penurunan batu bara kalori tinggi yang cukup tajam menjadi salah satu faktor penekan.
"Pemerintah China masih mengurangi impor batu bara dari Australia. Sementara itu, impor batu bara dari beberapa negara seperti Korsel juga mengalami penurunan karena stok mereka masih cukup tinggi dan juga persaingan dari bahan bakar gas dan nuklir," katanya.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 92 K/30/MEM/2019, HBA Juni 2019 ditetapkan senilai US$81,48 per ton atau turun tipis 0,46% dibandingkan dengan HBA Mei 2019 senilai US$81,86 per ton.
Sejak September 2018, HBA terus merosot dan belum pernah mencetak kenaikan bulanan. Terakhir kali HBA mencetak kenaikan bulanan pada Agustus 2018 ketika bertengger di level US$107,83 per ton.
Tren penurunan yang panjang tersebut membuat rata-rata HBA dalam enam bulan pertama tahun ini hanya senilai US$87,83 per ton, jauh dari rata-rata HBA sepanjang tahun lalu yang mencapai US$98,96 per ton.
Nilai HBA Juni 2019 tersebut sekaligus menjadi yang terendah sejak Juli 2017. Kala itu, HBA ditetapkan senilai US$78,95 per ton.