Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bank Sentral di Asia Bergerak Tekan Pelemahan Mata Uang

Bank sentral di seluruh Asia bergerak untuk mempertahankan mata uang mereka dari penurunan yang diakibatkan oleh meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dan China.
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta, Senin (2/7/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari
Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dollar AS di Jakarta, Senin (2/7/2018)./ANTARA-Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA - Bank sentral di seluruh Asia bergerak untuk mempertahankan mata uang mereka dari penurunan yang diakibatkan oleh meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dan China.

Pejabat bank sentral di China, Korea Selatan, dan Indonesia merupakan sebagian dari otoritas yang mengambil langkah untuk menguatkan mata uang. Yen, mata uang safe haven tradisional, adalah pengecualian utama untuk tren ini.

"Otoritas China berusaha menahan pelemahan yuan karena mereka tahu kerugian yang disebabkan oleh modal yang mengalir keluar dari wilayah ini akan lebih besar daripada manfaat perdagangan yang berasal dari mata uang lokal yang lemah," kata Kim Yumi, ahli strategi pasar di Kiwoom Securities di Seoul, seperti dikutip melalui Bloomberg, Kamis (23/5/2019).

Menurut Kim, hal ini turut berlaku untuk bank sentral Asia lainnya, terutama pada saat ketidakpastian melambung tinggi.

PBOC, bank sentral China, menetapkan bahwa yuan akan menguat pada level tertinggi dari yang diperkirakan selama tiga hari berturut-turut.

Kenaikan tingkat suku bunga, yang membatasi pergerakan onshore yuan sebesar 2 persen di kedua sisi, membantu menghentikan penurunan nilai mata uang terhadap valuta asing lainnya yang setara.

Hal ini sesuai dengan rencana PBOC untuk menjual surat utang offshore berdenominasi yuan di Hong Kong, sebuah langkah yang akan menguras likuiditas offshore dan menstabilkan yuan.

Sementara itu, otoritas bank sentral di Seoul mengadakan pertemuan singkat untuk membahas pandangan mereka terhadap distorsi yang terjadi di pasar mata uang, sebuah langkah tegas untuk mengatasi pelemahan won bulan ini.

Pihak Bank Sentral Korea, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengutip kebijakan tertutup bank bahwa mata uang negeri ginseng tersebut melemah terlalu cepat dalam periode singkat.

Seorang pejabat kementerian keuangan mengatakan pihak berwenang akan segera bertemu untuk membahas risiko distorsi.

Won adalah mata uang berkinerja terburuk di Asia tahun ini karena telah diterpa oleh penurunan tajam dalam ekspor chip sementara perang perdagangan telah merusak prospek ekonomi Korea.

Mata uang Korea Selatan naik 0,1 persen pada Rabu (22/5/2019), menjadi 1.193,15 per dolar AS.

Sementara itu Bank Indonesia, yang baru-baru ini melakukan intervensi pasar, mengatakan akan berkoordinasi dengan bank dan institusi lainnya untuk menjaga stabilitas rupiah dan kepercayaan pasar pasca kerusuhan yang mengguncang Jakarta.

Rupiah tercatat melemah 0,3 persen pada Rabu (22/5/2019), ke level terendah selama lima bulan terakhir menjadi 14.528 per dolar AS di tengah kerusuhan yang terjadi antara polisi dengan masyarakat yang menuntut keadilan pada proses pemililhan presiden April lalu.

Direktur Eksekutif untuk Manajemen Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan bank sentral siap untuk menjaga stabilitas di pasar mata uang dan obligasi.

Meningkatnya retorika perang dagang antara AS dan China, dan berita terbaru bahwa pemerintahan Trump mempertimbangkan untuk memutus aliran teknologi Amerika ke lima perusahaan China, menggerakkan para ahli strategi mata uang untuk memetakan implikasinya terhadap pertukaran mata uang asing.

Bank of America Corp. melihat penguatan yen Jepang ketika para investor memilih untuk menghindari aset berisiko, dan telah merekomendasikan perdagangan euro-yen.

Goldman Sachs Group Inc. memperingatkan bahwa mata uang dari euro hingga rand Afrika Selatan dan peso Chili bisa berada di garis depan. Westpac Banking Corp melihat obligasi sebagai taruhan yang aman.

"Saya pikir kita akan melihat lebih banyak pertemuan darurat di banyak tempat jika keadaan tetap seperti ini," kata Michael Every, kepala penelitian pasar keuangan Asia di Rabobank di Hong Kong.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Tegar Arief
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper