Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah negara-negara Asia telah melakukan berbagai upaya untuk melawan penguatan dolar AS yang menekan mata uang mereka.
Pasar valuta asing pada pekan ini telah dipenuhi dengan gejolak akibat data Negeri Paman Sam yang kuat sehingga menurunkan ekspektasi pemangkasan suku bunga dan penguatan dolar AS
Kepala strategi Asia di Skandinaviska Enskilda Banken di Singapura, Eugenia Victorino, mengungkapkan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan siapapun untuk melawan kekuatan dolar.
“Kecuali kita melihat intervensi terkoordinasi di antara bank-bank sentral besar, jawboning hanya akan memperlambat penguatan dolar - bukan menghentikannya,” terangnya, seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (18/4/2024).
Pertarungan untuk melawan dolar mungkin juga baru saja dimulai, lantaran dolar tampaknya akan menegaskan kembali kekuatannya.
Negara-negara berkembang terlihat proaktif dalam mengambil tindakan. Contohnya saja, di Tanah Air, Bank Indonesia (BI) melakukan intgervensi di pasar spot dan derivatif untuk menopang rupiah. Bank sentral Malaysia juga siap mengerahkan alat untuk mendukung ringgit.
Baca Juga
Kemudian, baru-baru ini kepala mata uang Jepang, Masato Kanda, mengulangi komitmen G7 untuk mencegah pergerakan yang tidak teratur. Korea Selatan sebelumnya juga mengatakan bahwa pihaknya membahas masalah mata uang dengan Jepang dan berjanji untuk melawan perubahan drastis, yang mendapatkan persetujuan diam-diam dari AS.
Adapun, China juga berjanji untuk menghindari volatilitas berlebihan dalam Yuan. Diketahui bahwa mata uang tersebut telah menurun ke tingkat yang belum pernah terjadi sejak November 2023. Padahal, yuan dipandang sebagai jangkar regional untuk stabilitas nilai tukar mata uang asing.
“[Komitmen G7] cukup baik untuk membentuk resistensi psikologis terhadap dolar,” terang ahli strategi mata uang di Oversea-Chinese Banking Corp. di Singapura, Christopher Wong.
Lanjutnya, ia berpendapat bahwa hal ini akan memberikan kelonggaran bagi beberapa mata uang regional yang paling terpukul, seperti Won dan Yen.
Kemudian, Volatilitas yang lebih buruk mungkin masih terjadi pada mata uang Asia dan negara-negara berkembang.
Ahli strategi makro senior di Lombard Odier, Homin Lee mengatakan bahwa pihaknya masih berasumsi bahwa intervensi akan lebih efektif dalam memperkuat kompleks valuta asing Asia, karena penguatan dolar AS didorong oleh perbedaan fundamental makroekonomi dan sikap kebijakan moneter.
“Pihak berwenang di kawasan ini akan mempertahankan bias untuk melakukan intervensi sehingga mereka dapat mengulur waktu sebelum paruh kedua ketika perbedaan makro dan kebijakan mulai berbalik arah,” tutur Odier.