Bisnis.com, JAKARTA — Cadangan batu bara yang bisa ditambang diperkirakan jauh berada di bawah data cadangan nasional yang mencapai 37 miliar ton.
Ketua Indonesian Mining Institute (IMI) Irwandy Arif mengatakan bahwa cadangan pada level nasional tersebut akan dijabarkan pada level perusahaan. Jumlah batu bara yang bisa ditambang (mineable reserves) dipastikan lebih rendah.
“Setelah dijabarkan pada level perusahaan jumlahnya akan berkurang cukup banyak karena faktor yang memengaruhinya juga cukup banyak,” katanya kepada Bisnis, Rabu (22/5).
Menurutnya, ada beberapa faktor teknis yang menjadi pertimbangan perusahaan, mulai dari rasio pengupasan (stripping ratio) tambang terbuka, persyaratan geoteknik tentang kemiringan tambang, keberadaan sungai, patahan yang melewati daerah tambang, hingga jarak antara satu tambang dan tambang lainnya.
Selain itu, ada juga faktor nonteknis yang membuat cadangan batu bara tidak bisa tertambang. Hal tersebut erat kaitannya dengan regulasi dari pemerintah. “Misalnya berada di wilayah hutan konservasi sehingga tidak bisa ditambang secara tambang terbuka,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan bahwa ada beberapa proyeksi terkait dengan jangka waktu pemanfaatan batu bara dengan kisaran antara 40—70 tahun. Hal tersebut akhirnya menjadi patokan bagi pemerintah untuk menghitung potensi penerimaan negara.
Namun, penghitungan tersebut mengabaikan beberapa faktor yang sangat menentukan. Salah satunya adalah jenis batu bara yang tidak ekonomis.
Sementara itu, pemerintah mendorong pemanfaatan terak atau ampas bijih (slag) dari hasil pemurnian mineral melalui smelter untuk diolah kembali menjadi bahan baku industri.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah tengah mengatur soal pemanfaatan slag dari seluruh smelter yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian, penghiliran mineral logam tidak hanya sebatas produk utama saja, tetapi juga mencakup produk sampingan.
“Kami akan bertemu kembali dengan KLHK [Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan], Kementerian Perindustrian, juga BUMN untuk membahas rekomendasinya seperti apa,” katanya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Harjanto menjelaskan bahwa slag bisa diproses kembali menjadi bahan baku industri. Menurutnya, potensi pemanfaatan slag di Indonesia sangat besar.
Dia mengungkapkan, slag dari proses pengolahan nikel saat ini sekitar 13 juta ton. Jumlah tersebut bisa membengkak hingga sekitar 60 juta ton seiring dengan banyaknya smelter yang masih dibangun.
“Slag itu bisa buat bahan bangunan atau pengeras jalan. Kalau roadmap hasil pengolahan alumina, slag bisa dimanfaatkan untuk, misalnya di beberapa negara, bahan tekstil,” ujarnya.