Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Agama memberikan pelonggaran para pelaku industri dan UMKM yang belum memiliki sertifikasi halal hingga tenggat waktu Oktober mendatang.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan produk yang belum bersertifikat halal hingga 17 Oktober mendatang tetap dapat masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia selama memiliki izin edar, izin usaha perdagangan, dan izin impor.
Kewajiban bersertifikasi halal sesuai peraturan perundang-undangan tentang penahapan jenis produk yang wajib bersertifikasi halal.
Untuk diketahui, hal itu telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang dimana telah di undangkan pada tanggal 3 Mei 2019.
"Nanti ada regulasi secara khusus terkait penahapan barang yang perlu bersertifikasi. Adapun untuk tahap pertama, 5 tahun ke depan diprioritaskan makanan dan minuman. Lalu 5-7 tahun berikutnya yang terkait obat-obatan, kosmetik dan produk barang lainnya," ujarnya dalan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR, Kamis (16/5).
Namun, ada penahapan ini tidak berlaku pada produk hewan yang kewajiban kehalalannya sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Lalu produk yang sudah bersertifikat halal sebelum UU Jaminan Produk Halal ini berlaku.
Dia menuturkan produk yang wajib bersertifikat halal yakni makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, produk kimiawi, produk biologi, rekayasa genetik dan barang gunaan yang akan dipakai dan dimanfaatkan masyarakat yang mengandung unsur hewan.
"Perlengkapan peribadatan, alat kantor, alat tulis, sandang, penutup kepala, asesoris, peralatan rumah tangga, alat kesehatan dan lain sebagainya," katanya.
Lalu untuk sektor jasa yang wajib memiliki sertifikasi yakni terkait penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian.
Dia menambahkan untuk produk yang mengandung tidak halal wajib diberikan informasi berupa gambar dan tulisan di produk itu.
"Pelaku usaha yang tak mematuhi sesuai prosedur dan ketentuan halal dikenai sanksi sesuai aturan yang berlaku. Sanksinya tengah kami susun dalam Peraturan Menteri Agama," ucap Lukman.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim menuturkan saat ini kami tengah menunggu keterangan resmi pemerintah terkait tahapan penerapan jaminan produk halal.
"Kami akan bekerjasama dengan lembaga sertifikat halal di luar negeri agar produk yang masuk di Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku," katanya.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito menuturkan selama pihaknya tengah melakukan pengawasan kehalalan pre market dan post market, baik dari bahan baku hingga di pasarkan.
"Jadi yang menggandung babi harus diberi tahukan dalam produk itu. Untuk obat sendiri belum ada alternatifnya karena 90% masih impor sehingga perlu diperkuat," terangnya.
Dia menambahkan produk impor yang masuk ke Indonesia perlu dilakukan sertifikasi produk halal sehingga dapat beredar di Indonesia.
Saat ini yang perlu dilakukan yakni harmonisasi aturan antara BPOM dan Badan Pelaksana Jaminan Produk Halal.
"Ini perlu ada kerjasama bersama, lalu efisiensi pencantuman produk halal, koordinasi, penetapan, dan pencabutan sertifikasi. Ini harus dilakukan bersama-sama," kata Penny.
Sementara itu, Anggota Komisi VIII dari Fraksi Partai Amanat Nasional Desy Ratnasari meminta agar pemerintah tak memberikan karpet merah kepada produk-produk impor dengan menggratiskan biaya sertifikasi halal.
"Mereka juga semestinya kena biaya sertifikasi. Kalau tidak kena, gimana produk Indonesia bisa bersaing padahal produk dalam negeri dikenakan biaya sertifikasi," tuturnya.
Menurutnya, pemerintah harus adil dengan mengenakan biaya sertifikasi dan mengharuskan produk impor yang beredar di Tanah Air untuk memiliki sertifikasi halal.
Ketua Umum Asosiasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) M Ikhsan Ingratubun mengeluhkan biaya sertifikasi yang mahal sehingga memberatkan pelaku usaha kecil dan menengah. Menurutnya, pelaku usaha kecil dan menengah diberikan sertifikasi jaminan produk halal yang gratis dan tak dibebankan kepada pengusaha.
"Proses sertifikasi tidak transparan. Saat ini produk UMKM nasih sangat kecil yang bersertifikasi karena berdasarkan produk bukan berdasarkan merek," ucapnya.