Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memanfaatkan senjata andalannya, Twitter, untuk melancarkan ancaman. Tak main-main, dampak ancamannya membuat pasar saham global spontan bergejolak.
Ancaman Trump untuk meningkatkan tarif terhadap China menyebabkan lonjakan volatilitas pada perdagangan pagi awal pekan ini, Senin (6/5/2019). Indeks saham berjangka AS turun lebih dari 2 persen dan indeks Shanghai Composite Index turun sebanyak 4,1 persen.
Kontrak berjangka di indeks Cboe Volatility, yang menjadi barometer perkiraan volatilitas jangka pendek untuk S&P 500, pun melonjak 15 persen.
Trump secara dramatis meningkatkan tekanan pada China untuk mencapai kesepakatan perdagangan dengan mengumumkan akan menaikkan tarif impor atas produk China senilai US$200 miliar pada Jumat (10/5) pekan ini.
Trump sebelumnya menunda pengenaan kenaikan tarif menjadi 25 persen dari 10 persen terhadap barang impor China senilai US$200 miliar setelah menyetujui gencatan senjata dengan Presiden China Xi Jinping pada 1 Desember 2018 untuk memberi waktu bagi perunding kedua belah pihak menyusun perjanjian yang komprehensif.
"Kesepakatan Perdagangan dengan China berlanjut, tetapi terlalu lambat, karena mereka berusaha untuk menegosiasikan kembali. Tidak!" tulis Trump dalam Twitter.
For 10 months, China has been paying Tariffs to the USA of 25% on 50 Billion Dollars of High Tech, and 10% on 200 Billion Dollars of other goods. These payments are partially responsible for our great economic results. The 10% will go up to 25% on Friday. 325 Billions Dollars....
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) May 5, 2019
Entah apakah dilancarkan sebagai taktik negosiasi atau tanda sesuatu yang lebih tidak menyenangkan, cuitan Trump sontak mengguncang pasar yang dalam beberapa pekan terakhir telah dibuai tanda-tanda kemajuan dalam perundingan perdagangan, sikap dovish Federal Reserve AS, dan laporan kinerja keuangan perusahaan yang lebih baik dari perkiraan.
Para investor, yang telah terbiasa dengan volatilitas lintas aset pada atau mendekati level yang rendah, secara historis sekali lagi terpaksa mempertimbangkan bahwa segala sesuatu mungkin tidak akan berjalan dengan mulus.
“[Isu] perdagangan telah dikesampingkan oleh banyak pelaku pasar,” ujar Andrew Tilton, kepala ekonom Asia-Pasifik di Goldman Sachs Group Inc., kepada Bloomberg Television.
“Pasar memperhitungkan akan ada semacam kesepakatan, dan tidak akan ada kenaikan tarif lebih lanjut. Ketika prospek pertumbuhan benar-benar membaik, kabar ini menimbulkan momok mengenai pertumbuhan yang signifikan jika tarif meningkat dan ketidakpastian terkait dengan beban investasi akan terus berlanjut,” lanjutnya.
Michael McCarthy, kepala strategi pasar di CMC Markets Asia Pacific Pty., berpendapat meski mungkin tidak seburuk yang terlihat, hal tersebut berpeluang merusak semua momentum positif yang telah dialami pasar.
“Pertanyaannya adalah apakah ini taktik negosiasi menit terakhir atau akan menunjukkan kegagalan dalam perundingan,” tanya McCarthy.
Menurut pakar strategi Nomura Holdings Inc. Charlie McElligott, kenaikan indeks S&P 500 AS baru-baru ini ke level tertingginya kemungkinan telah memberi Trump kepercayaan diri yang cukup untuk menghadapi penurunan pasar.
“Kemudian kembali bersandar pada apa yang oleh beberapa pihak dalam pemerintahannya anggap sebagai 'permainan lambat' China. Ini semua merupakan upaya untuk menarik konsesi kesepakatan tambahan pada menit terakhir,” jelas McElligott.
Ekonom Goldman, Alec Phillips dan Blake Taylor, yang menempatkan peluang kenaikan tarif pada hari Jumat (10/5/) sebesar 40 persen, masih melihat besarnya potensi tercapai kesepakatan perdagangan.
Bagaimanapun, menurut sumber terkait, China tengah mempertimbangkan menunda mengirimkan delegasinya ke Washington pekan ini, setelah Trump mengancam China dengan pengenaan tarif. Jika perjalanan itu dibatalkan, maka bisa membuat kenaikan tarif menjadi semacam pembenaran.
“Kuncinya sekarang adalah respons China. Tak hanya ekuitas, mata uang, suku bunga, dan komoditas juga bisa terdampak,” tulis Kay Van-Petersen, pakar strategi makro global di Saxo Capital Markets Pte. dalam risetnya.
Di sisi kurs valuta asing, dolar Australia dan Selandia Baru terbukti sangat rentan dengan segala isu soal perdagangan.
“Kita akan melihat sedikit koreksi penurunan yang sangat signifikan untuk dolar Australia dan Selandia Baru, juga peningkatan besar-besaran dalam hal volatilitas jika perundingan gagal dilangsungkan dan tim perunding China tidak pergi ke Washington,” tutur Nick Twidale, chief operating officer Rakuten Securities Australia Pty di Sydney.