Bisnis.com, JAKARTA - Permasalahan paling berat pada kegiatan penambangan batu bara secara terbuka yaitu terjadinya fenomena air asam tambang.
Akademisi dari Institut Pertanian Bogor Irdika Mansur, menjelaskan air asam tambang terbentuk karena oksidasi mineral-mineral sulfida yang terekspos ke lingkungan dengan kehadiran air, sehingga timbul air tambang yang bersifat asam.
"Air asam tambang itu pH atau keasamannya luar biasa, sehingga kalau masuk ke perairan umum ikan-ikan bisa mati," jelasnya di Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Kendati demikian, perusahaan-perusahaan tambang wajib untuk mengolah air asam tambang yang dikeluarkannya sebagai dampak dari aktivitas pertambangan yang dilakukan. Selama ini, pengendalian yang dilakukan oleh para pengusaha tambang untuk menetralkan air asam tambang adalah dengan menggunakan kapur tohor.
Irdika mengatakan penetralan air asam tambang dengan menggunakan kapur tohor memakan biaya yang tidak sedikit. "Biaya penggunaan kapur tohor juga mahal. Biayanya itu antara Rp200 juta - Rp1 miliar perbulan," lanjut Irdika.
Irdika mengatakan untuk menetralkan air asam tambang dapat dilakukan dengan pendekatan kehutanan yakni menggunakan metode pembangunan hutan rawa. Pengendalian air asam tambang menggunakan metode hutan rawa sudah dibuktikan oleh PT Jorong Barutama Greston di Kalimantan Selatan.
Baca Juga
"Itu tidak usah pakai kapur jadi air asam tambang yang pH-nya mencapai 3 masuk ke hutan rawa tadi keluar pH-nya sudah berubah menjadi 6, sehingga sekalipun perusahaan izin perusahaannya sudah selesai tidak berdampak pada lingkungan ke depannya," jelasnya.
Pembangunan hutan rawa, menurutnya, sangat sederhana, hampir sama dengan membuat sediment pond. Bedanya, isi di dalamnya merupakan bahan organik yaitu kompos, tandan sawit dan sebagainya yang ditanami tanaman air seperti rumput tifa dan sebagainya.
Fungsinya, selain menyerap logam berat. Pada bahan organik tersebut nantinya akan tumbuh bakteri pereduksi sulfat. “Jadi sulfat akan diubah menjadi sulfida sehingga logam berat mengendap atau menguap,” jelasnya.
Ditambah dengan penanaman pohon-pohon yang dapat ditanam di hutan rawa seperti pohon kayu putih, jelutung dan sebagainya.
“Nah pohon-pohon ini yang akan menyerap logam-logam berat tadi, dan logam berat tadi disimpan di akar pohon dan kalau kita cek daunnya kita analisis baik-baik saja,” lanjutnya.
Irdika juga mengatakan kolam yang terbentuk dari lubang bekas tambang juga dapat dimanfaatkan sebagai cadangan air, irigasi, atau budidaya perikanan.
Terkait isu kandungan logam berat yang ada di dalam kolam tersebut, Irdika mengatakan hal itu dapat diatasi dan dibersihkan dengan penanaman tanaman air secara berkala yang dapat menyerap logam berat misalnya kayu apu (pistia stratiotes), kiambang (salvinia cucullata) dan enceng gondok (eichornia crassipes).