Bisnis.com, JAKARTA -- PT Star Energy Geothermal Drajat menyatakan pembangkit panas bumi di kawasan konservasi masih dapat dibenarkan karena termasuk dalam pertambangan energi baru terbarukan.
Respons ini dikeluarkan sebagai komentar atas penolakan warga terhadap turunnya 20 persen area Cagar Alam Guntur Papandayan menjadi taman wisata alam. Wilayah konservasi yang menjadi taman wisata alam salah satunya dimanfaatkan sebagai wilayah pertambangan geothermal yang dilakukan oleh dua operator yakni PT Pertamina Geothermal Energy dan PT Star Energy Geothermal Drajat.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang dikelola PT Pertamina Geothermal Energy dengan kapasitas 235 MW dan PLTP Darajat dikelola Star Energy Geothermal Drajat dengan kapasitas 270 MW.
Coordinator Social Performance PT Star Energy Geothermal Dali Sadli Mulia mengakui bahwa pihaknya paham betul akan kewenangan pengelolaan kawasan berada pada kebijakan pemerintah. Pengoperasian PLTP tersebut pun sudah mengikuti syarat perizinan pemerintah.
"Panas bumi masuk istilah pertambangan energi baru terbarukan, oleh karena itu dimungkinkan di kawasan konservasi," katanya, Senin (22/4/2019).
Menurutnya, sebagai pembangkit energi baru terbarukan (EBT), geothermal lebih ramah lingkungan dibandingkan tenaga lainnya seperti batu bara. Setidaknya PLTP Drajat milik PT Star Energy mampu menghasilkan listrik berkapasitas 271 MW dengan memanfaatkan energi panas dan tekanan geothermal untuk menggerakkan turbin. Panas bumi yang digunakan pun kembali diijenksikan ke dalam tanah.
Baca Juga
Sementara itu, menurutnya, untuk menghasilkan listrik dengan kapasitas serupa, pembangkit berbahan bakar minyak setidaknya menghabiskan 10.000 hingga 20.000 barell oil per hari. Hal tersebut belum memperhitungkan dampak polusinya yang dihasilkan.
"Kami juga peduli jangan sampai pembangkit panas bumi yang ada mengganggu dan berdampak negatif pada ekosistem," katanya.
Berdasarkan rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kompleks hutan Gunung Guntur dan Papandayan ditunjuk pertama kali sebagai kawasan hutan pada 7 Juli 1927. Pada 1979 kompleks hutan tersebut kemudian ditunjuk menjadi Cagar Alam Kawah Kamojang, Taman Wisata Alam Kawah Kamojang, Cagar Alam Gunung Papandayan, dan Taman Wisata Alam Gunung Papandayan.
Pada 1990 ditetapkan Cagar Alam Kawah Kamojang seluas 7.805 hektar are dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang seluas 481 hektar are, Cagar Alam Gunung Papandayan seluas 6.807 hektar are, dan Taman Wisata Alam Gunung Papandayan seluas 225 hektar are.
Secara faktual, pada kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang terdapat penggarapan lahan yang dilakukan masyarakat seluas 449,17 hektar, aktivitas wisata alam berupa camping dan pemancingan di Danau Ciharus, serta pemanfaatan jasa lingkungan berupa panas bumi (PJLPB) yang telah berlangsung sejak 1974.
PJLPB tersebut dikelola oleh PT Pertamina Geothermal Energy memanfaatkan area seluas 56,85 Ha atau 1,97% dari luas taman wisata alam dengan kapasitas terpasang 235 MW.
Sementara, pada Cagar Alam Gunung Papandayan terdapat penggarapan lahan yang dilakukan masyarakat seluas 180 hektare, aktivitas wisata alam di Kawah Manuk dan Kawah Darajat, dan PJLPB. Kegiatan pemanfaatan panas bumi telah berlangsung sejak 1974 yang saat ini dikelola PT Star Energy Geothermal Drajat dengan memanfaatkan kawasan seluas 26 Hektar are atau 1,3% dari luas taman wisata alam dengan kapasitas terpasang 271 MW.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kemudian menetapkan Keputusan Nomor: SK.25/MENLHK/SETJEN/PLA.2/1/2018 tanggal 10 Januari 2018 tentang Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan dari sebagian Cagar Alam Kamojang seluas kurang lebih 2.391 hektar are dan Cagar Alam Gunung Papandayan seluas 1.991 ha menjadi Taman Wisata Alam.