Bisnis.com, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menaksir pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Minyak Bumi dan Gas akan selesai paling lambat pada September 2019.
Anggota Komisi VII DPR, Tjatur Sapto Edy mengatakan pembahasan RUU Migas saat ini masih menunggu Amanat Presiden (Ampres) dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). RUU Migas telah selesai pembahasannya di DPR sejak masa sidang lalu.
“karena ini dekat pemilu, ya Insyaallah setelah pemilu bisa dikebut dan selesai di masa bakti DPR sekarang sebelum September. Biasanya yang ribut kan DPR, ini DPR sudah selesai tinggal pemerintah,” ujar Tjatur di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (21/3/2019).
Draf RUU Migas dari DPR masih dibahas Daftar Inventaris Masalah (DIM)nya oleh pemerintah. Dalam RUU Migas terdapat sejumlah rancangan peraturan baru untuk tata kelola migas di Indonesia.
Beberapa aturan baru diantaranya adanya rancangan pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) di sektor hulu migas. Kemudian, ada pengaturan yang mewajibkan impor migas harus melalui konsultasi dengan pemerintah dan BPH Migas.
RUU Migas juga mengatur adanya Dana Abadi Migas. Alokasi Dana Abadi Migas, berdasarkan Pasal 63 RUU Migas, bersumber dari hasil penerimaan bersih migas bagian negara, bonus yang menjadi hak pemerintah berdasarkan kontrak kerja sama, dan pungutan serta iuran yang menjadi hak negara.
“[aturan baru lainnya] skema gross split disebutkan di UU, atau bentuk lain yang menguntungkan. Kemudian ada evaluasi ada waktunya,” katanya.
Jika draf RUU Migas dari DPR disetujui pemerintah, maka nantinya tidak ada lagi SKK Migas yang mengelola sektor hulu migas. Badan itu akan dilebur menjadi satu dalam BUK yang akan dibentuk. “[BUK] itu diberi kuasa oleh negara untuk mengusahakan bisnis hulu,” ujarnya.
Setelah pemerintah menyelesaikan DIM RUU Migas, pembahasan draf beleid itu akan dilakukan di Badan Musyawarah DPR RI. Setelah itu, pembahasan RUU hingga selesai diserahkan ke Komisi VII atau melalui Bamus sendiri.