Bisnis.com JAKARTA--Digagas pada zaman kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, digarap pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kalimat pendek ini cukup untuk menggambarkan mukadimah dari salah satu proyek paling ambius dalam sejarah Republik ini, yaitu jalan tol Trans-Sumatra.
Setelah melalui pertarungan gagasan yang cukup rumit, proyek jalan tol Trans-Sumatra menemui titik terang pada September 2014. Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) menerbitkan Peraturan Presiden No. 100/2014.
Isinya, menugaskan PT Hutama Karya (Persero) untuk mengerjakan empat ruas, Medan—Binjai, Palembang—Indralaya, Pekanbaru—Dumai, dan Bakauheni—Terbanggi besar. Panjang keempat ruas tol tersebut mencapai 310 kilometer.
Sebulan berselang, rezim berganti. Joko Widodo naik ke tampuk pimpinan. Janji untuk membangun infrastruktur saat kampanye pemilihan presiden ditunaikan, termasuk jalan tol Trans-Sumatra.
Pada April 2015, groundbreaking ruas tol Bakauheni—Terbanggi Besar dimulai.
Tepat setahun setelah mendapat penugasan pertama, Hutama Karya diberi tugas tambahan. BUMN hasil nasionalisasi dari Hollandsche Beton Maatshappij ini mendapat tambahan penugasan 20 ruas baru lewat Perpres No. 117 Tahun 2015.
Baca Juga
Walhasil, Hutama Karya mengemban amanah untuk mengerjakan jalan tol sepanjang 2.704 kilometer, membentang dari Lampung hingga Banda Aceh dan menghubungkan kota-kota di pantai barat dengan pantai timur Sumatra.
Penugasan kepada Hutama Karya tidak diberikan dengan tangan kosong. Pada 2015—2016, BUMN itu mendapat penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp5,60 triliun. Tahun ini, Hutama Karya kembali mendapat suntikan modal Rp10,50 triliun. Penyertaan modal memang mutlak dilakukan
Pada 2014, ekuitas Hutama Karya hanya Rp975 miiliar, sedangkan investasi empat ruas yang ditugaskan melalui Perpres No. 100/2014 mencapai Rp38,80 triliun. Kini, dari 24 ruas, sebanyak 12 ruas telah menjadi ruas prioritas dengan panjang 1.568 kilometer. Total investasi untuk 12 ruas tersebut adalah Rp262,49 triliun.
Direktur Utama Hutama Karya Bintang Perbowo mengatakan bahwa perusahaan masih akan mencari sumber pendanaan untuk membiayai konstruksi ruas-ruas tol prioritas di Sumatra.
Tahun lalu, katanya, perseroan sudah mengantongi komitmen pinjaman dari beberapa sindikasi perbankan senilai Rp40 triliun.
"Bulan lalu, kami juga ada tambahan [pinjaman] Rp5 triliun. Kami mendapat jaminan [pemerintah] sehingga bisa mendapat biaya [dana] lebih murah," jelas Bintang di Jakarta, pekan lalu.
Secara umum, investasi pembangunan jalan tol Trans-Sumatra akan lebih banyak berasal dari modal atau ekuitas.
Bintang menyebutkan bahwa porsi modal mencapai 68%, sedangkan dari pinjaman 32%. Bisa ditebak, investasi yang sarat dari kantong sendiri mencerminkan tingkat kelayakan proyek yang rendah.
Berdasarkan data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), sebanyak 16 dari 24 ruas Trans-Sumatra memiliki financial internal rate of return kurang dari 10%. Tentu, sulit berharap ada kalangan swasta yang mau menanamkan modal dengan tingkat pengembalian serendah itu.
Maka, boleh dibilang, Trans-Sumatra adalah proyek nekad. Kendati demikian, sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Toh, tahun ini, sebanyak enam ruas jalan tol Trans-Sumatra bakal beroperasi penuh.
Bintang mengatakan bahwa jalan tol yang siap beroperasi yaitu meliputi Medan—Binjai (17 kilometer), Palembang—Indralaya (22 kilometer), dan Pekanbaru—Dumai (131 kilometer), Bakauheni—Terbanggi Besar (140 Kilometer), Terbanggi Besar—Pematang Panggang (100 kilometer), dan Pematang Panggang—Kayu Agung (85 kilometer).
MEMBANGUN KORIDOR
Di sisi lain, membangun jalan tol bukan sekadar meratakan tanah dan mengecor beton. Jalan tol akan hidup bila mampu merangsang kegiatan ekonomi lainnya.
Deputi Menteri BUMN Aloysius Kiik Ro mengatakan bahwa jalan tol Trans-Sumatra akan menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi di koridor Sumatra.
Dia menekankan bahwa studi terkait potensi ekonomi di Sumatra sudah dibuat.
Pengembangan potensi ekonomi di koridor Sumatra merupakan bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Masterplan ini dicetuskan pada era pemerintahan SBY.
"Kalau hanya membangun tol, kita akan rugi. Jadi, kita membangun koridor ekonomi baru," tutur Aloysius.
Bintang menambahkan bahwa ada 85 potensi ekonomi di sepanjang koridor Trans-Sumatra yang bisa digarap, mulai dari pembangkit listrik, kawasan industri, bandara, pelabuhan, hingga infrastruktur perairan seperti irigasi dan bendungan.
Berdasarkan kajian perseroan, wilayah di sekitar jalan tol Trans-Sumatra dengan radius lebih dari 50 kilometer memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan produk domestik regional bruto Sumatra.
Dalam 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Sumatra selalu di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Bahkan, sumbangsih ekonomi Sumatra juga terus lungsur ke level 21,58% pada 2018. Fluktuasi harga komoditas menjadi salah satu penyebab perekonomian Sumatra labil.
Industrialisasi berbasis sumber daya alam menjadi pilihan paling masuk akal untuk menopang perekonomian Sumatra. Untuk itu, pengembangan kawasan industri disiapkan. Sejauh ini, Hutama Karya berencana mengembangkan kawasan industri bersama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I.
Saat ini, di Sumatra sudah ada empat kawasan ekonomi khusus manufaktur yang bisa menjadi hinterland atau daerah asal kargo, baik untuk pelabuhan maupun jalan tol. Keempat KEK itu yakni KEK Arun di Lhokseumawe, KEK Sei Mangkei, KEK Galang Batang, dan KEK Tanjung Api Api. Selain itu, Dewan KEK mencatat ada enam KEK lain yang sedang diusulkan.
Seturut dengan pembangunan jalan tol, Sumatra juga sudah memiliki gerbang baru untuk perdagangan luar negeri, yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatra Utara. Pelabuhan yang dibangun sejak 2015 ini memiliki kapasitas 600.000 TEUs (twenty-foot equivalent units) untuk tahap pertama, sedangkan kapasitas ultimate mencapai 23 juta TEUs.
Kuala Tanjung bakal meramaikan persaingan pelabuhan di Selat Malaka karena berhadapan langsung dengan dua pelabuhan penting, yakni Port Klang dan Singapura. Pelabuhan juga menjadi satu dari tujuh pelabuhan hub yang disiapkan untuk konsolidasi kargo ekspor Indonesia.
Presiden Jokowi menyadari bahwa integrasi pelabuhan dengan jalan tol adalah keharusan. Pada April 2015, saat groundbreaking ruas Bakauheni—Terbanggi Besar, dia menyebutkan bahwa pembangunan tidak boleh dilakukan secara parsial.
“Ini harus terintegrasi terpadu, pelabuhannya rampung, tolnya rampung, Merak rampung ini baru namanya kerja terintegrasi, bukan sepotong-potong, bukan parsial,” katanya.
Pembangunan jalan tol Trans-Sumatra memang belum selesai. Namun, pengembangan kawasan jangan sampai jalan di tempat.
Berdasarkan data Dewan KEK, saat ini baru ada tiga KEK yang beroperasi dan dua masih konstruksi.
Tentu saja, tanpa arus kargo dan arus manusia yang memadai, lalu lintas di jalan tol bakal tidak sesuai dengan harapan.