Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu solusi lahan yang semakin terbatas dan mahal adalah pembangunan bangunan vertikal dan tidak bisa dipungkiri bahwa pengembangan rumah tapak mulai beralih menjadi apartemen atau satuan rumah susun.
Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (APERSSI) Ibnu Tadji mengatakan masalah yang paling pelik terjadi dalam kasus rumah susun adalah lamanya sertifikasi kepemilikan diberikan kepada pemilik unit apartemen, bahkan bisa bertahun-tahun lamanya.
"Itu menjadi hal utama yang pemilik apartemen tuntut hingga sekarang," kata Ibnu.
Risa, salah satu penghuni dan pemilik unit di Apartemen Menara Cawang, Jakarta Timur, masih belum mendapatkan Akta Jual Beli (AJB). Padahal, dia sudah menghuni di apartemen ini sejak 2008 dan sudah membayar hingga lunas.
"Sampai sekarang kami belum ada sertifikat dan sangat sulit menemui pemilik gedung," kata Risa, belum lama ini.
Pakar hukum pertanahan dan properti Indonesia Eddy Leks menyampaikan memang saat ini belum ada aturan mengenai penyerahan AJB kepada penghuni.
Katanya, konsumen bisa mengajukan gugatan wanprestasi berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) jika pengembang telah menjanjikan hal AJB. Namun hampir tidak ada pengembang yang menjanjikan hal tersebut sehingga posisi konsumen akan menjadi sulit.
Sebenarnya, kata Eddy, komitmen penyerahan AJB bisa diatur dalam PPJB. Oleh karena ada keterlibatan kantor pertanahan, maka pengembang pasti tidak mau mengambil risiko yang tidak perlu.
"Namun peran pengembang dalam proses sertifikasi juga sangat penting. Sertifikasi rumah susun hanya bisa dilakukan setelah pertelaan, akta pemisahan, dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) telah diperoleh," kata Eddy kepada Bisnis, Rabu (20/2/2019).
Eddy memaparkan AJB penting sebagai akta pemindahan hak atas tanah, bangunan, atau satuan rumah susun. Secara hukum, pembeli baru dianggap sebagai pemilik setelah menandatangani AJB. Namun untuk bisa mencapai AJB, perlu suatu proses yang sangat panjang dan lama.
AJB hanya bisa dilakukan setelah sertifikat hak milik atas satuan rumah susun (SHMSRS) telah terbit. Sedangkan, SHMSRS baru bisa diurus setelah pertelaan, akta pemisahan disetujui kepala daerah dan SLF telah terbit. SLF hanya bisa terbit setelah konstruksi bangunan sepenuhnya selesai.
"Ini membuat lama, terkadang pemerintah daerah mengatur cukup ketat, misalnya di Jakarta, sehingga konstruksi menjadi terkendala dan penerbitan SLF terhambat," kata dia.
Pakar Hukum Properti Erwin Kallo menyebut jika ada apartemen yang belum menyerahkan AJB, harus dilihat dulu penyebabnya kasus per kasus.
"Konsumen juga tidak bisa menuntut pengembang jika belum menyerahkan AJB karena tidak ada peraturan dan tidak tertuang dalam PPJB, yang ditulis dalam PPJB hanya tanggal serah terima unit," kata Erwin.
Erwin mengatakan yang menjadi masalah karena adanya syarat fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang harus diserahkan pengembang, di mana secara teknis memang tidak bisa dilakukan, tapi dimasukkan ke dalam syarat pembangunan.
Dia menjelaskan pemerintah atau Gubernur DKI Jakarta akan mengesahkan pertelaan dengan syarat, salah satunya yaitu fasum fasos sudah diserahkan semua. Banyak kasus penyerahan fasum fasos tidak dilakukan, bisa jadi karena kesalahan pengembang atau Pemda.
"Sering kali, Pemda yang tidak mau memroses, contoh fasum fasos suatu proyek adalah pelebaran sungai, kan harus dari ujung ke ujung, itu juga harus ada programnya dulu dari Pemda atau PUPR, Pemda memang tidak memberikan Izin Membangun Prasarana (IMP)," jelas dia
Jadi, dari segi pengembang, mereka mau buru-buru AJB, tidak ada keuntungan bagi pengembang untuk menunda AJB, kecuali jika sertifikatnya masih digadai ke perbankan.
Dia menilai jika pemerintah memang tidak bisa memberikan IMP, sebaiknya pertelaan juga jangan dihambat agar penghuni bisa segera mendapatkan AJB. Banyak pihak yang bisa dirugikan jika AJB lama tidak diserahkan.
"Konsumen akan rugi karena tidak bisa mendapatkan sertifikat dan tidak bisa menjamin ke bank, Pemda juga rugi karena tidak dapat Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan [BPHTB] yang sebesar 5%," katanya.
Sedangkan bagi pengembang, jika belum AJB, pembukuan bisa terhambat. Kemudian yang rugi berikutnya adalah perbankan. Pihak perbankan tidak bisa memasang hak tanggungan, sudah memberikan kredit tapi tidak ada jaminan yang bisa dipegang.
Jadi, Erwin menilai kuncinya ada di Pemda, tidak selalu salah pengembang, justru jika mereka menahan AJB akan berbahaya, bisa menambah beban pajak yang semakin naik setiap tahun.
Kepada Bisnis, Executive Director Jakarta Property Institute Wendy Haryanto mengatakan berbicara soal apartemen, ada 1.001 masalah, salah satunya adalah AJB.
"Jika bangunan sudah selesai, satu tahun setelah serah terima, sudah harus ada AJB, masalahnya keluarnya AJB harus ada SLF, pertelaan sudah harus selesai, strata title dan pemecahan hak, dan yang ahli strata title di Indonesia cuma ada 4 orang dan itu harus masuk ke sumber yang satu," paparnya.
Dia mengatakan pemecahan hak induk paling cepat memakan waktu kira-kira 2 tahun per tower, belum lagi dalam satu tower bisa mencapai jumlah ratusan unit.
Selain itu, proses untuk eksekusi fasosfasum berputar-putar, Wendy mencontohkan Apartemen Kalibata City, fasum-fasosnya yaitu pembangunan jembatan penyeberangan, sampai saat ini tidak keluar, padahal jembatan penyebrangan di Kalibata City sudah jadi.
Serah terima juga membutuhkan waktu yang juga panjang, banyak dinas yang terkait, sebelum serah terima, ada beberapa berita acara yang harus dilakukan lagi, setidaknya ada 36 proses yang harus dilalui untuk bisa mencapai penyerahan AJB.
"Pengembang jika tidak lakukan serah terima, maka akan menghambat proyek selanjutnya, tidak bisa hanya disalahkan ke satu sisi," jelasnya.
Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (APERSSI) Ibnu Tadji mengatakan masalah yang paling pelik terjadi dalam kasus rumah susun adalah lamanya sertifikasi kepemilikan diberikan kepada pemilik unit apartemen, bahkan bisa bertahun-tahun lamanya.
"Itu menjadi hal utama yang pemilik apartemen tuntut hingga sekarang," kata Ibnu.
Risa, salah satu penghuni dan pemilik unit di Apartemen Menara Cawang, Jakarta Timur, masih belum mendapatkan Akta Jual Beli (AJB). Padahal, dia sudah menghuni di apartemen ini sejak 2008 dan sudah membayar hingga lunas.
"Sampai sekarang kami belum ada sertifikat dan sangat sulit menemui pemilik gedung," kata Risa, belum lama ini.
Pakar hukum pertanahan dan properti Indonesia Eddy Leks menyampaikan memang saat ini belum ada aturan mengenai penyerahan AJB kepada penghuni.
Katanya, konsumen bisa mengajukan gugatan wanprestasi berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) jika pengembang telah menjanjikan hal AJB. Namun hampir tidak ada pengembang yang menjanjikan hal tersebut sehingga posisi konsumen akan menjadi sulit.
Sebenarnya, kata Eddy, komitmen penyerahan AJB bisa diatur dalam PPJB. Oleh karena ada keterlibatan kantor pertanahan, maka pengembang pasti tidak mau mengambil risiko yang tidak perlu.
"Namun peran pengembang dalam proses sertifikasi juga sangat penting. Sertifikasi rumah susun hanya bisa dilakukan setelah pertelaan, akta pemisahan, dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) telah diperoleh," kata Eddy kepada Bisnis, Rabu (20/2/2019).
Eddy memaparkan AJB penting sebagai akta pemindahan hak atas tanah, bangunan, atau satuan rumah susun. Secara hukum, pembeli baru dianggap sebagai pemilik setelah menandatangani AJB. Namun untuk bisa mencapai AJB, perlu suatu proses yang sangat panjang dan lama.
AJB hanya bisa dilakukan setelah sertifikat hak milik atas satuan rumah susun (SHMSRS) telah terbit. Sedangkan, SHMSRS baru bisa diurus setelah pertelaan, akta pemisahan disetujui kepala daerah dan SLF telah terbit. SLF hanya bisa terbit setelah konstruksi bangunan sepenuhnya selesai.
"Ini membuat lama, terkadang pemerintah daerah mengatur cukup ketat, misalnya di Jakarta, sehingga konstruksi menjadi terkendala dan penerbitan SLF terhambat," kata dia.
Pakar Hukum Properti Erwin Kallo menyebut jika ada apartemen yang belum menyerahkan AJB, harus dilihat dulu penyebabnya kasus per kasus.
"Konsumen juga tidak bisa menuntut pengembang jika belum menyerahkan AJB karena tidak ada peraturan dan tidak tertuang dalam PPJB, yang ditulis dalam PPJB hanya tanggal serah terima unit," kata Erwin.
Erwin mengatakan yang menjadi masalah karena adanya syarat fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang harus diserahkan pengembang, di mana secara teknis memang tidak bisa dilakukan, tapi dimasukkan ke dalam syarat pembangunan.
Dia menjelaskan pemerintah atau Gubernur DKI Jakarta akan mengesahkan pertelaan dengan syarat, salah satunya yaitu fasum fasos sudah diserahkan semua. Banyak kasus penyerahan fasum fasos tidak dilakukan, bisa jadi karena kesalahan pengembang atau Pemda.
"Sering kali, Pemda yang tidak mau memroses, contoh fasum fasos suatu proyek adalah pelebaran sungai, kan harus dari ujung ke ujung, itu juga harus ada programnya dulu dari Pemda atau PUPR, Pemda memang tidak memberikan Izin Membangun Prasarana (IMP)," jelas dia
Jadi, dari segi pengembang, mereka mau buru-buru AJB, tidak ada keuntungan bagi pengembang untuk menunda AJB, kecuali jika sertifikatnya masih digadai ke perbankan.
Dia menilai jika pemerintah memang tidak bisa memberikan IMP, sebaiknya pertelaan juga jangan dihambat agar penghuni bisa segera mendapatkan AJB. Banyak pihak yang bisa dirugikan jika AJB lama tidak diserahkan.
"Konsumen akan rugi karena tidak bisa mendapatkan sertifikat dan tidak bisa menjamin ke bank, Pemda juga rugi karena tidak dapat Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan [BPHTB] yang sebesar 5%," katanya.
Sedangkan bagi pengembang, jika belum AJB, pembukuan bisa terhambat. Kemudian yang rugi berikutnya adalah perbankan. Pihak perbankan tidak bisa memasang hak tanggungan, sudah memberikan kredit tapi tidak ada jaminan yang bisa dipegang.
Jadi, Erwin menilai kuncinya ada di Pemda, tidak selalu salah pengembang, justru jika mereka menahan AJB akan berbahaya, bisa menambah beban pajak yang semakin naik setiap tahun.
Kepada Bisnis, Executive Director Jakarta Property Institute Wendy Haryanto mengatakan berbicara soal apartemen, ada 1.001 masalah, salah satunya adalah AJB.
"Jika bangunan sudah selesai, satu tahun setelah serah terima, sudah harus ada AJB, masalahnya keluarnya AJB harus ada SLF, pertelaan sudah harus selesai, strata title dan pemecahan hak, dan yang ahli strata title di Indonesia cuma ada 4 orang dan itu harus masuk ke sumber yang satu," paparnya.
Dia mengatakan pemecahan hak induk paling cepat memakan waktu kira-kira 2 tahun per tower, belum lagi dalam satu tower bisa mencapai jumlah ratusan unit.
Selain itu, proses untuk eksekusi fasosfasum berputar-putar, Wendy mencontohkan Apartemen Kalibata City, fasum-fasosnya yaitu pembangunan jembatan penyeberangan, sampai saat ini tidak keluar, padahal jembatan penyebrangan di Kalibata City sudah jadi.
Serah terima juga membutuhkan waktu yang juga panjang, banyak dinas yang terkait, sebelum serah terima, ada beberapa berita acara yang harus dilakukan lagi, setidaknya ada 36 proses yang harus dilalui untuk bisa mencapai penyerahan AJB.
"Pengembang jika tidak lakukan serah terima, maka akan menghambat proyek selanjutnya, tidak bisa hanya disalahkan ke satu sisi," jelasnya.