Bisnis.com, JAKARTA--Kalangan usaha meminta pemerintah berhati-hati dalam menetapkan komoditas yang dijadikan alat barter dengan India, guna mendapatkan pengurangan bea masuk CPO.
Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono mengatakan, pemerintah harus menghitung potensi peningkatan impor dari India akibat kebijakan tersebut.
“Terutama untuk otomotif. Kita harus hitung benar dan pastikan industri dalam negeri kita menerima rencana kebijakan itu. Sebab sektor otomotif kita sedang tumbuh saat ini. Kecuali jika memang ada kerja sama perjanjian antarperusahaan dalam hal ini Suzuki saja,” ujarnya.
Dia memaklumi Pemerintah India meminta banyak hal kepada Indonesia sebagai kompensasi penurunan bea masuk CPO. Pasalnya, India selama ini mengalami defisit neraca perdagangan dengan Indonesia.
Namun, menurutnya Indonesia selama ini telah memiliki ketergantungan yang besar dengan India. Dalam hal ini, India mengekspor produk jasa, terutama produk digital ke Indonesia. Hanya saja produk jasa India yang diekspor ke RI, menurutnya, belum tercatat dengan baik.
“Yang tercatat selama ini ekspor barang, sementara ekspor produk digital seperti software tidak dicatat. Padahal jumlah ekspor India ke Indonesia di sektor tersebut sangat besar. Hal ini seharusnya diperhatikan pemerintah sebagai alat lobi-lobi ke India,” lanjutnya.
Baca Juga
Kendati demikian, dia mendukung upaya pemerintah untuk melobi India terkait dengan pengurangan bea masuk CPO. Pasalnya, komoditas tersebut saat ini masih menjadi andalan ekspor Indonesia dan memiliki nilai ekspor terbesar.
Sementara itu, Ketua Penelitian dan Pengembangan Perdagangan serta Industri Bahan Baku Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GP Farmasi) Vincent Harijanto mengatakan, potensi trade off antara CPO RI dengan produk farmasi India telah dibahas dalam pertemuan antarpebisnis kedua negara awal bulan ini.
Dia mengatakan, India menawarkan agar Indonesia tidak hanya mengimpor bahan baku obat-obatan saja, melainkan juga produk jadi. Di sisi lain, India juga meminta agar Indonesia menambah porsi impor bahan baku dari India.
Berdasarkan datanya, selama ini impor bahan baku dari India mencapai 40% dari total impor bahan baku obat Indonesia. Sementara sisanya dari China. Pada tahun lalu, nilai impor bahan baku dari India mencapai Rp12 triliun.
“Tapi kami minta, mereka juga bangun pabrik bahan baku di Indonesia. Sementara itu, kalau untuk impor obat jadi, kami bersedia jika itu obat-obatan spesifik seperti obat anti kanker yang tidak kita produksi. Kalau sekedar paracetamol, kita jelas menolak,” katannya.
Dia menegaskan, apabila pemerintah membuka keran impor untuk obat-obatan umum, maka menurutnya itu tidak setimpal dengan peluang ekspor CPO Indonesia ke India. Di sisi lain, impor obat-obatan nonspesifik, justru akan mematikan industri farmasi Indonesia.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, apabila Indonesia membuka keran impor terhadap gula mentah, daging kerbau, otomotif dan farmasi, maka Indonesia berhak menerima kompensasi yang lebih besar untuk memasarkan produknya ke India.
“Kalau hanya untuk ditukar CPO saya rasa belum setimpal. Kita seharusnya mendapat potensi ekspor lain ke India,” ujarnya.
Kendati demikian, dia menilai dengan dimasukkannya empat komoditas untuk dibuka keran impornya itu, dapat membuat keberterimaan India terhadap produk RI meningkat. Sebab selama ini, pasar India relatif sangat tertutup oleh produk dari negara lain.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kanya Laksmi mengatakan, upaya pemerintah tersebut merupakan langkah yang tepat. Pasalnya India merupakan pasar yang penting bagi Indonesia.
Menurutnya, pada tahun lalu, penurunan permintaan CPO dari India sedikit tertolong oleh peningkatan permintaan dari Pakistan. Kendati demikian Indonesia tidak boleh mengandalkan peraliham permintaan dari negara lain selain India saja untuk memacu ekspor CPO.
“India tetap harus kita jaga ekspornya. Bayangkan saja jika India menurunkan bea masuknya, dan negara seperti Pakistan mempertahankan permintaan CPOnya seperti tahun lalu, ekspor kita pasti akan meningkat lagi,” katanya.
Di sisi lain, dia memperkirakan, penurunaan bea masuk CPO asal RI oleh India, akan membuat harga komoditas tersebut naik di pasar global.
Dia mencontohkan kejadian Malaysia yang mendapatkan pengurangan bea masuk ke India pada awal tahun ini, yang akhirnya membuat harga CPO global seempat terkerek.