Bisnis.com, JAKARTA — Saat ditanya tentang persiapan Indonesia sebelum menghadiri rapat koordinasi International Tripartit Rubber Council (ITRC), Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjawab dengan antusias.
Namun, saat pertanyaan mengenai defisit neraca dagang Indonesia pada Januari yang melebar mengemuka, Menteri Enggar berubah menjadi irit bicara.
“Saya belum lihat datanya,” ujarnya pendek di gedung Kemenko Perekonomian, Jumat (16/2).
Datanya sebagai berikut. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit neraca perdagangan pada Januari 2019 melebar menjadi US$1,16 miliar dari Desember 2018 senilai US$1,03 miliar. Defisit pada Januari itu, menjadi yang terbesar secara year on year (y-o-y) sejak 2014.
Dari sisi ekspor nonmigas, capaian Januari bahkan turun 4,50% secara y-o-y menjadi US$12,63 miliar. Hal itu membuat neraca dagang nonmigas Januari mencatat defisit US$704,40 juta. Capaian dari sisi nonmigas ini jauh lebih besar dibandingkan dengan defisit migas yang menembus US$454,90 juta.
Fakta ini tentu menjadi peringatan keras tersendiri bagi pemerintah. Terlebih pemerintah sempat menjanjikan akan menerbitkan sejumlah insentif kepada eksportir, dengan tujuan utama menggenjot ekspor pada kuartal I/2019.
Masih segar diingatan ketika pada 22 Januari 2019, Bisnis berbincang-bincang dengan Sekretaris Menteri Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengenai kinerja ekspor RI. Kala itu, dia menyatakan pemerintah bakal menerbitkan sejumlah kebijakan insentif ekspor. Targetnya pun terbilang optimistis, yakni dapat menggenjot ekspor Tanah Air pada kuartal I/2019.
Kala itu, dia menyebutkan, pemeirntah telah menyiapkan sejumlah insentif ekspor. Pemerintah juga akan membentuk tim nasional pengembangan ekspor dan pengembangan investasi (PEPI). Susiwijono mengatakan, tim tersebut akan dikepalai oleh presiden atau menko perekonomian yang tujuan utamanya membantu meningkatkan kinerja ekspor RI. (Bisnis, 22/1/2019)
Seiring berjalannya waktu, pemerintah memang telah menepati janjinya untuk memberikan insentif ekspor. Namun, insentif yang terwujud baru satu kebijakan, yakni simplifikasi prosedur kepabeanan untuk ekspor kendaraan utuh (CBU) pada 13 Februari lalu.
Sejatinya pemerintah juga mempunyai satu kebijakan kemudahan ekspor lain, yakni penghapusan kewajiban laporan surveyor (LS) untuk komoditas minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan gas pipa. Namun hingga saat ini, kebijakan itu tak kunjung diterbitkan.
Awalnya, pemerintah turut menyertakan dua komoditas lain untuk disertakan dalam kebijakan itu, yakni kayu log industri dan rotan setengah jadi. Akan tetapi, untuk dua komoditas terakhir, penerbitannya ditunda lantaran statusnya sebagai produk larangan ekspor.
“Saat ini untuk aturan baik Permendag, PMK dan Perdirjen Bea dan Cukai untuk pembebasan kewajiban LS CPO dan gas pipa sudah jadi, tinggal menunggu pengesahan di Kementerian Hukum dan HAM,” ujar Susiwijono kepada Bisnis, Jumat (15/2).
Namun ketika ditanyai lebih lanjut mengenai kebijakan insentif ekspor lain yang akan diterbitkan pemerintah, dia belum memberikan respons.
Ketua Umum Gabungan Perusahan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan, insentif yang ada saat ini belum cukup jika tujuannya untuk memacu ekspor pada kuartal I/2019. Dia mengatakan, simplifikasi ekspor kendaraan CBU dan penghapusan wajib LS untuk CPO dan gas pipa, diperkirakan berdampak terbatas kepada kinerja ekspor RI.
“Perlu ada kebijakan tambahan lain. Insentif peningkatan daya saing manufaktur dalam negeri lebih penting dan jauh lebih berdampak kepada ekspor kita rasanya, dibandingkan dengan simplifikasi ekspor yang lebih menyasar produk primer seperti CPO, kayu log dan rotan setengah jadi,” ujar dia, Minggu (17/2).
Dia berujar, insentif yang ada saat ini masih jauh dari harapan. Terlebih, insentif ekspor pembebasan kewajiban LS untuk CPO dinilai kurang berdampak positif.
Apabila ditilik secara lebih jauh, ucapan Benny tersebut benar adanya. Pasalnya, persoalan ekspor CPO bukan pada sisi volume melainkan harga di tingkat global.
Berdasarkan data BPS, ekspor CPO pada Januari 2019 yang tergabung dalam kelompok lemak, minyak nabati dan hewani, volumenya tumbuh menjadi 3,06 juta ton dari Desember 2018 sebesar 3,01 juta ton dan Januari 2018 dengan 2,48 juta ton. Namun di sisi nilai justru turun 9,56% secara y-o-y pada Januari 2019, menjadi US$1,5 miliar.
Terlebih, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, para eksportir CPO masih tetap akan menggunakan LS ekspor kendati pemerintah akan membebaskan kewajiban prosedur itu.
“Eksportir masih akan gunakan LS, karena itu penting untuk pelaporan internal kami. Saya tidak tahu apa maksud dari pemerintah dengan kebijakan pembebasan wajib LS CPO,” ujarnya, sembari mengernyitkan dahi.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta W Kamdani mengatakan, dia mengapresiasi upaya pemerintah memberikan insentif dari simplifikasi prosedural ekspor, yang berdampak pada efisiensi biaya ekspor. Namun, dia menilai apabila tujuannya untuk menggenjot ekspor kuartal I/2019, insentif tersebut tidaklah cukup.
“Kebijakan itu masih sebagian kecil dari yang dibutuhkan eksportir kita. Apalagi jika goal-nya kuartal I/2019. Selama kita masih bergantung ekspor produk mentah dan perang dagang AS dan China masih terjadi, sangat sulit kinerja ekspor kita membaik, terutama nomigas,” katanya.
Masih lambatnya pemerintah menerbitkan insentif ekspor pun disampaikan oleh ekonom Core Indonesia Mohammad Faisal. Defisit neraca perdagangan Januari 2019 yang terburuk sejak 2014, seharusnya sudah menjadi peringatan awal bagi pemerintah. Dia berujar, apabila target pemerintah menggenjot ekspor kuartal I/2019, maka akan sulit tercapai jika insentif yang muncul masih sangat terbatas.
Menurutnya, akan sangat sulit ekspor melonjak dalam waktu kurang dari satu setengah bulan, sesuai dengan waktu yang tersisa pada kuartal I/2019. “Jika saja ada insentif baru nantinya di sisa kuartal I/2019 ini, eksportir masih tetap butuh waktu yang tidak pendek untuk merasakan dampaknya. Cukup sulit rasanya jika melihat pergerakan pemerintah saat ini,” ujarnya.
Alhasil, pemerintah rasa-rasanya harus bekerja lebih keras untuk memacu ekspornya, begitu pula dengan kalangan usaha. Tak elok rasanya jika kalangan usaha masih menumpukan seluruh beban kinerja ekspor hanya kepada pemerintah.
Langkah nyata dan agresif sangat perlu dilakukan untuk menggenjot ekspor Tanah Air. Belum cukupkah torehan negatif defisit neraca perdagangan 2018 yang terbesar sepanjang sejarah dan defisit Januari 2019 yang terbesar sejak 2014 untuk membuat Indonesia tersadar?