Calon Presiden Prabowo Subianto mensinyalir anggaran negara bocor sebesar Rp500 triliun. Dengan mengacu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 senilai Rp2.007 triliun, maka kebocoran anggaran yang disinyalir Prabowo sekitar 25%.
APBN 2018 naik menjadi Rp2.217 triliun dan APBN 2019 naik lagi menjadi Rp2.461 triliun. Beberapa pemberitaan menyebutkan kebocoran Rp500 triliun setara dengan 25% anggaran. Jadi, kita ambil saja APBN 2017 sebagai patokan.
Seingat saya, pada kampanye pemilihan presiden 2014, calon presiden Prabowo sudah mengatakan soal kebocoran yang kala itu dipandang kurang didukung oleh data. Namun isu kebocoran tidak memanas seperti sekarang karena calon presiden pesaingnya, Joko Widodo, sama-sama tidak berstatus sebagai petahana (incumbent). Hatta Rajasa, calon presiden pasangan Prabowo, yang merupakan menteri Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang memerintah, tidak berkomentar tentang isu bocor.
Kebocoran bukan isu baru. Puluhan tahun silam di masa Orde Baru sekalipun, Prof Sumitro Djojohadikusumo, yang merupakan ayahanda Prabowo Subianto, pernah mengutarakan bahwa kebocoran anggaran mencapai sekitar 30%. Tidak jelas dari mana datangnya angka itu. Tak ada pula yang mengeluarkan angka tandingan. Agaknya, khalayak mafhum kondisi saat itu di bawah rezim diktator yang serba tidak transparan. Perbincangan tentang kebocoran tak berujung.
Bocor dalam Perekonomian
Cukup banyak kajian lintas negara maupun khusus Indonesia tentang underground economy atau sejenisnya yang luput dari statistik resmi. Yang luput itu boleh saja dikatakan “bocor” (leakage).
Berbagai kajian lintas negara menujukkan Indonesia tidak tergolong yang paling parah atau parah.
Beberapa kajian dengan studi kasus Indonesia adalah sebagai berikut.
Bertolak dari kajian-kajian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa kebocoran dalam ekonomi lebih besar dibandingkan dengan kebocoran APBN.
Pengertian Bocor
Ember yang berlubang membuat air di dalamnya keluar dan jika tidak ditambal akan mengakibatkan air yang ada di dalam ember habis. Bisa juga dipakai untuk atap rumah yang bocor sehingga takkala hujan, tetesan atau kucuran air masuk ke dalam rumah.
Bocor APBN
Katakanlah ember itu adalah APBN. Sejauh yang saya pahami, kebocoran mengacu pada pos pengeluaran atau belanja. Pada APBN 2017 belanja keseluruhan berjumlah Rp2.700,4 triliun.
Bocor bisa dalam berbagai bentuk: dana yang dibelanjakan tidak sebesar yang dianggarkan, selisihnya dikorupsi dengan segala tipu daya. Bisa pula seluruh dana dibelanjakan sesuai peruntukan tapi hasilnya tidak sesuai target (inefisiensi, pemborosan).
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai jenis audit. BPK bisa memilh sampel beberapa pos pengeluaran. Jika dibutuhkan, DPR berwenang untuk menugaskan BPK melakukan audit khusus. Jadi ada cara untuk mengetahui seberapa jauh kebocoran, asal ada kemauan politik dari DPR, termasuk dari Fraksi Partai Gerindra yang ketua umumnya Prabowo Subianto sendiri.
Tanpa upaya serius dan sistematis, kita hanya bisa mereka-reka berdasarkan data sekunder yang tersedia.
Kebocoran bisa terjadi di berbagai tingkatan: pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) dan pemerintahan desa. Saya tidak memiliki pijakan kuat untuk menduga-duga tingkat kebocoran di daerah.
Yang bisa kita lakukan adalah dengan mencermati alokasi dan jenis pengeluaran untuk pos “Transfer ke Daerah dan Dana Desa.” Pada APBN 2017 pos ini berjumlah Rp742 triliun atau 37% dari BELANJA NEGARA. Kebanyakan dana ke daerah berupa gaji pegawai lewat pos Dana Perimbangan yang menyedot 96% dari dana Transfer ke Daerah. Dengan demikian obyek yang berpotensi bocor relatif sangat kecil. Katakanlah 10% dari TRANSFER KE DAERAH Masih bocor, berarti sekitar Rp68 triliun.
Untuk Dana Desa yang relatif baru dan masih mencari bentuk optimalnya serta dengan pertimbangan sumber daya manusia yang terbatas di desa, katakanlah bocor 50% atau sekitar Rp30 triliun.
Berarti, kebocoran total di tingkat daerah berjumlah Rp98 triliun (Rp68 triliun ditambah Rp30 triliun).
Di tingkat pemerintah pusat, belanja meliputi belanja K/L dan non-K/L Untuk memudahkan perhitungan, kita gunakan belanja pemerintah pusat berdasarkan jenis.
Belanja pegawai dan pembayaran bunga utang hampir pasti tidak ada kebocoran. Kedua jenis belanja itu menyedot 41,8% belanja pemerintah pusat.
Kehadiran LKPP akan lebih mempersulit kongkalikong pengadaan barang dan jasa pemerintah, termasuk belanja modal. Keberadaan KPK turut mempersempit manuver penggelembungan harga, praktek kolusi dan korupsi. Katakanlah masih ada kebocoran sebesar 20 persen. Maka nilai kebocoran dari belanja barang dan belanja modal sekitar Rp100 triliun.
Untuk subsidi, pembayaranya ke Pertamina, PLN, pabrik pupuk milik negara, dan sebagainya sangat ketat, tak akan dicairkan oleh Kementerian Keuangan tanpa audit BPK. Andaikan masih ada kebocoran 5%, berarti sekitar Rp8 triliun.
Yang mungkin lebih banyak dicurigai adalah pos bantuan sosial, hibah, dan belanja lainnya. Kasarnya, katakanlah ketiga jenis belanja terakhir ini bocor 50% atau sekitar Rp35 triliun.
Kebocoran total di tingkat pemerintah pusat adalah Rp100 triliun + Rp8 triliun + Rp35 triliun = Rp143 triliun.
Akhirnya kita memiliki perkiraan kebocoran total dengan perhitungan yang teramat sangat sederhana, yaitu: di tingkat daerah senilai Rp98 triliun ditambah di tingkat pemerintah pusat senilai Rp143 triliun, sehingga bocor total adalah Rp241 triliun.
Angka kebocoran versi sangat sangat sederhana dan sangat kasar itu tak sampai separuh dari yang disinyalir Capres Nomor 2.
Bisa pula kita mengestimasi potensi “kebocoran” dari sisi penerimaan. Cara perhitungannya tentu berbeda. Kebocoran dari sisi penerimaan tidak seperti air di dalam ember, karena airnya belum masuk. Lebih pas kalau dikatakan potensi yang belum terealisasi atau ada yang “ditilep” oleh aparat pajak. Namun, terlalu gegabah untuk mengatakantax ratio yang relatif rendah sebagai wujud dari kebocoran atau korupsi, kecuali ada data yang membuktikannya.
Siapapun yang akan memerintah pada 2019-2024, pekerjaan rumah yang menghadang sangatlah berat. Segala sumber daya harus digunakan dengan perencanaan yang cermat serta proses pelaksanaannya transparan dan akuntabel. Sektor pemerintah tampaknya belum tersentuh oleh proses disrupsi dan masih berperilaku business as usual.