Bisnis.com, JAKARTA -- Menjelang akhir 2018, pariwisata Bali kembali menjadi sorotan setelah muncul kabar maraknya praktik zero dollar tour di Pulau Dewata. Padahal, turisme di provinsi itu belum sepenuhnya pulih setelah didera beberapa bencana alam, seperti erupsi Gunung Agung dan gempa bumi.
Zero dollar tour merujuk pada kedatangan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia dengan membeli paket perjalanan berharga murah dari negara asalnya. Harga paket wisata yang ditawarkan untuk setiap wisman disebut sebesar Rp600.000 per orang.
Selama di Indonesia, wisman terkait tidak memberi sumbangan devisa. Hal ini terjadi karena transaksi belanja yang mereka lakukan menggunakan aplikasi pembayaran negara asalnya, sehingga dana yang dibayarkan langsung masuk ke aplikasi terkait.
Praktik zero dollar tour banyak melibatkan wisman dari China. Tak hanya merugikan Indonesia sebagai negara tujuan, praktik itu juga membuat turis harus mengeluarkan biaya lebih untuk belanja dan mengunjungi destinasi wisata.
Mereka dipaksa membeli suvenir di tempat perbelanjaan yang bekerja sama dengan agensi tur. Harga barang-barang yang dijual lebih tinggi dibanding harga pasar.
Sejumlah wisatawan dari China tiba di Bandara Sam Ratulangi, Manado./Antara-Adwit B. Pramono
Tahun lalu, praktik zero dollar tour banyak ditemukan di Bali karena provinsi itu merupakan destinasi utama wisman asal China. Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Bali Causa Iman Karana pernah mengungkapkan bahwa potensi kerugian akibat praktik ini mencapai US$205 per wisman.
Potensi Terulang dan Pengawasan
Meski pemerintah setempat sudah menutup toko-toko yang terlibat dengan praktik tersebut, tak tertutup kemungkinan hal yang sama terjadi di kawasan wisata selain Bali. Apalagi, Indonesia punya 10 destinasi wisata prioritas yang sedang gencar dipromosikan di luar negeri dengan tujuan menjaring 20 juta kunjungan wisman pada 2019.
Selain itu, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mengungkapkan wisman asal China juga kerap berkunjung ke Pulau Jawa dan Kepulauan Riau.
Plt Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) Budijanto Ardiansjah mengatakan wisman dari Negeri Panda senang mengunjungi kawasan wisata pantai dan daerah-daerah yang memiliki kultur sama dengan negara asalnya.
“Seperti Medan, Kalimantan Barat (Kalbar), Pekanbaru, dan beberapa daerah lain. Ini juga menjadi destinasi-destinasi yang perlu kita tawarkan,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (4/2/2019).
Menurut Budijanto, ada potensi praktik zero dollar tour terjadi di destinasi wisata selain Bali. Hal itu bisa terjadi jika pemerintah tidak melakukan pengawasan yang kuat terhadap penyedia jasa wisata dan perjalanan dari China.
Wisatawan berjemur saat umat Hindu melaksanakan upacara Melasti di Pantai Kuta, Badung, Bali, Sabtu (25/3/2017)./Antara-Fikri Yusuf
ASITA menganggap pemerintah seharusnya bisa dengan mudah mengawasi agen-agen nakal yang menawarkan jasa wisata ilegal. Tindakan seperti razia dan pemeriksaan terhadap kantor biro perjalanan serta toko suvenir dianggap perlu dilakukan pemerintah.
“Hal tersebut bisa saja terulang jika pengawasannya lemah. Jadi yang perlu itu pengawasan,” tegasnya.
Terkait adanya dorongan dari pemerintah agar ASITA dan China National Tourism Association (CNTA) membuat white list agensi tur dari China, Budijanto menganggap langkah ini tidak akan efektif mencegah terulangnya praktik zero dollar tour.
“Masalahnya ke depan biasanya kan mereka buka perusahaan baru. Waktu di-blacklist, kalau niatnya nakal, ya [agen tur] buka lagi perusahaan baru,” ucapnya.
ASITA menekankan bahwa pengawasan menjadi hal yang harus serius dilakukan jika pemerintah ingin mencegah terulangnya praktik serupa. Menurut Budijanto, percuma wisman dari China datang dalam jumlah banyak jika sumbangan mereka terhadap devisa minim.
Pemerintah memang telah mengklaim tidak tinggal diam untuk mencegah terulangnya praktik zero dollar tour. Dorongan agar ASITA serta CNTA membuat white list Tour Agencies – Tour Operators (TA-TO) termasuk salah satu langkah yang diambil.
"Nantinya mereka sama-sama membuat daftar atau meregistrasi TA-TO yang direkomendasi oleh kedua belah pihak, sehingga mudah mengontrolnya ketika ada keluhan," papar Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenpar Guntur Sakti.
Pembatasan Kunjungan
Kemenpar juga memiliki skenario memberlakukan batas bawah untuk turis yang hendak berkunjung ke Bali. Strategi ini diharapkan mampu membuat industri pariwisata di Bali tidak terjebak persaingan harga murah.
Selain itu, pemerintah akan membatasi kunjungan wisman ke toko suvenir yang dimiliki warga negara asing.
“Caranya dengan melakukan pembatasan kunjungan ke kartel toko yang dimiliki warga negara originasi, dalam hal itu toko dengan kepemilikan warga China,” ungkap Guntur.
Wisatawan menikmati suasana matahari terbenam di Pantai Kuta, Bali, Selasa (20/3/2018)./JIBI-Rachman
Di luar upaya-upaya tersebut, dia menyatakan pemerintah tak akan banyak mengeluarkan kebijakan untuk mencegah terulangnya praktik zero dollar tour. Pemerintah, tambahnya, tak akan mencampuri terlalu banyak urusan bisnis agar dunia pariwisata di Indonesia tetap kondusif dan semakin berkembang.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada Jumat (1/2) menyebutkan bahwa ada 2,13 juta wisman China yang berkunjung ke Indonesia sepanjang tahun lalu. Jumlah itu menempatkan China sebagai negara pemasok turis terbanyak kedua setelah Malaysia, yang 2,5 juta warganya datang ke Indonesia pada periode yang sama.
Jumlah wisman asal China yang datang sepanjang 2018 hanya naik sedikit dibanding 2017. Saat itu, ada 2,09 juta turis asal China yang berkunjung ke Tanah Air.
Secara keseluruhan, turis China menyumbang 13,52% jumlah wisman yang datang ke Indonesia pada tahun lalu.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali sempat merilis data mengenai rendahnya pengeluaran wisman asal China saat praktik wisata ilegal marak terjadi. Setiap turis asal China diprediksi hanya mengeluarkan uang US$200 per hari.
Namun, sejak wisata ilegal ditutup, turis China yang menuju Bali disebut sudah mencakup kalangan menengah ke atas.