Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

GSP untuk Produk Plywood Indonesia Ditolak AS

Keputusan United States Trade of Repesentatif (USTR) untuk menolak sejumlah produk asal Indonesia sebagai penerima fasilitas generalized system of preferences (GSP), bisa menjadi peringatan terkait dengan kelanjutan RI menerima fasilitas itu secara utuh.

Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan United States Trade of Repesentatif (USTR) untuk menolak sejumlah produk asal Indonesia sebagai penerima fasilitas generalized system of preferences (GSP), bisa menjadi peringatan terkait dengan kelanjutan RI menerima fasilitas itu secara utuh.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan, secara umum, proses peninjauan eligibilitas produk RI dalam kerangka GSP berbeda dengan proses peninjauan eligibilitas negara penerima manfaat GSP. Pasalnya, proses peninjauan produk lebih didasarkan kepada kebutuhan impor AS terhadap produk tertentu dalam GSP.

Sementara itu, proses peninjauan negara penerima GSP—dalam hal ini Indonesia—didasarkan pada parameter akses pasar yang diberikan RI terhadap produk asal Negeri Paman Sam serta perlindungan hak kekayaan intelektual  (HAKI) terhadap produk asal AS.

“Namun demikian, kita harus terus memonitor proses peninjauan eligibilitas produk RI oleh AS dalam GSP. Sebab, dengan ditolaknya sejumlah produk RI untuk menerima GSP ini bisa menjadi menjadi masukan bagi AS atas kelayakan RI secara utuh sebagai negara penerima manfaat GSP,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (7/1/2019).

Dia mengatakan, dengan semakin banyak produk RI yang dinilai tidak dibutuhkan oleh AS atau impornya melebihi ambang batas kuota impor yang ditentukan dari satu negara, maka akan membuat penilaian AS kepada RI sebagai penerima GSP semakin berkurang.

Dikutip dari lansiran USTR pada Senin (7/1), pada 15 November 2018 USTR memutuskan tentang peninjauan eligibilitas produk (product eligibility review). Dari keputusan itu, setidaknya terdapat dua produk asal RI yang ditolak untuk mendapatkan fasilitas GSP.

Pertama, lembaran kayu lapis dengan ketebalan di bawah 6 milimeter (mm), kayu lapis dari pohon tropis tertentu, dan kayu lapis dengan permukaan yang jernih atau transparan.

Produk tersebut dinilai tidak layak menerima GSP setelah diusulkan oleh RI untuk kembali menerima pengurangan bea masuk melalui GSP. Salah satu alasannya karena porsi impor atas produk itu dari Indonesia yang melebih batas yang ditentukan, yang mencapai 50% dari total impor AS .

Kedua, produk asam asetat monokarboksilat tak jenuh, anhidrida, halida, peroksida, dan asam peroksida. Produk ini selama ini menerima fasiitas GSP, dan akhirnya ditolak oleh AS untuk kembali menerima GSP lantaran melebihi aturan de minimis atau melebih ambang batas kuota impor Paman Sam dari sebuah negara.

PERINGATAN

Menanggapi hal itu, Ketua Komite Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono mengatakan, keputusan AS dalam menolak sejumlah produk yang diusulkan untuk menerima manfaat GSP harus menjadi peringatan bagi Indonesia.

Pasalnya, kebijakan itu mencerminkan bahwa produk asal RI dinilai mulai tidak layak menerima pengurangan bea masuk melalui fasilitas GSP.

“Kedua komoditas itu memang tidak besar ekspornya dari Indonesia. Maka dari itu kita harus pintar-pintar memilih produk lain apalagi yang bisa diusulkan menerima fasilitas GSP. Di sisi lain, kita harus lebih cerdik dalam melobi AS, supaya proses peninjauan eligibilitas produk RI tidak mempengaruhi eligibilitas Indonesia sebagai negara penerima GSP,” ujarnya.

Handito menilai, keputusan Washington dalam peninjauan produk tersebut merupakan salah satu cara untuk membuat RI tunduk dengan keinginan AS.

Terlebih negara tersebut memiliki alasan kuat untuk memberlakukan kebijakan dagang dengan Indonesia, karena neraca dagang RI mengalami surplus dengan AS. Menurut data Kemendag, surplus neraca perdagangan RI dengan AS mencapai US$6.9 miliar pada Januari—Oktober 2018.

“Persoalan lain yang perlu diwaspadai adalah, AS ini sudah berhasil merasa di atas angin dengan China terkait dengan perang dagang. Indonesia bisa menjadi negara selanjutnya yang ‘ditundukkan’ oleh AS karena juga mengalami surplus, meskipun jumlahnya relatif kecil.”

Adapun, Ketua Bidang Pemasaran dan Hubungan Internasional Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Gunawan Salim mengatakan, kebijakan terbaru AS tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap kinerja ekspor plywood asal Indonesia ke AS. Meskipun, AS merupakan pasar ekspor terbesar kedua produk kayu lapis asal Indonesia.

Plywood ini memang diusulkan kembali menerima GSP setelah terakhir kali mendapat fasilitas itu tiga tahun lalu. Tetapi pada dasarnya ekspor kita khusus untuk produk plywood di bawah 6 mm ini relatif kecil, jadi tidak berpengaruh banyak,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Perundingan Bilateral Kementerian Perdagangan Ni Made Ayu Marthini mengklaim, proses peninjauan eligibilitas produk RI sebagai penerima manfaat GSP dan peninjauan Indonesia sebagai negara penerima manfaat GSP tidak berhubungan. Dia pun mengklaim RI masih sangat berpotensi melanjutkan statusnya sebagai penerima fasilitas GSP.

“Kedua proses peninjauan tersebut berjalan terpisah. Untuk produk, setiap tahun ada proses review dan memang ada produk yang dicoret maupun dimasukkan untuk menerima GSP. Sementara untuk review negara baru tahun lalu dilakukan, dan itu tidak berhubungan,” jelasnya.

Dia mengatakan, Indonesia saat ini masih terus menanti hasil evaluasi USTR atas kelayakan Indonesia sebagai negara penerima GSP. Pemerintah Indonesia pun terus melanjutkan negosiasi dan lobi-lobinya agar terus mendapatkan fasilitas itu. Salah satunya dengan melakukan kunjungan dagang ke AS pada 15-19 Januari mendatang.

Selain itu, Ni Made juga mengakui bahwa Indonesia telah mengusulkan produk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) sebagai produk yang menerima fasilitas GSP. Dalam surat pengajuannya bertanggal 16 April 2018 lalu, Indonesia memasukkan CPO dalam produk minyak hewan dan nabati sebagai penerima GSP.

Menanggapi hal tersebut, ekonom Universitas Indonesia Fitrhra Faisal meragukan potensi diterimanya CPO sebagai produk yang menerima fasilitas GSP. Pasalnya, AS merupakan salah satu produsen terbesar minyak kedelai yang merupakan pesaing CPO di sektor minyak nabati.

“Cukup sulit kemungkinannya untuk diterima. Apalagi CPO beberapa tahun lalu sempat dicoret dari produk penerima fasilitas GSP, sehingga potensi keberterimaan AS atas produk itu kecil sekali,” jelasnya. 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper