Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

CERITA KHAS, Curhat Sopir Transportasi Online

Seperti tak puas mengungkapkan aspirasi pada mimbar-mimbar demonstrasi di jalanan dua tahun ini, pengemudi taksi dan ojek online menumpahkan keluh-kesah di ruang-ruang terbuka lain.
Suasana unjuk rasa pengemudi ojek online Grab yang tergabung dalam Gerakan Aksi Roda Dua (Garda) di depan Gedung Lippo, Kuningan, Jakarta, Rabu (19/9)./Bisnis-Sholahuddin al Ayyubi
Suasana unjuk rasa pengemudi ojek online Grab yang tergabung dalam Gerakan Aksi Roda Dua (Garda) di depan Gedung Lippo, Kuningan, Jakarta, Rabu (19/9)./Bisnis-Sholahuddin al Ayyubi
Bisnis.com, JAKARTA — Seperti tak puas mengungkapkan aspirasi pada mimbar-mimbar demonstrasi di jalanan dua tahun ini, pengemudi taksi dan ojek online menumpahkan keluh-kesah di ruang-ruang terbuka lain.
 
Memanfaatkan wadah diskusi yang ada, di kantor Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), sejumlah pengemudi angkutan sewa khusus — lazim disebut taksi online — dan ojek online (ojol) menumpahkan unek-unek mereka selama bergabung dalam transportasi daring.
 
Di kantor yang menempati salah satu pojok lantai 12 Gedung Sarinah itu, pertengahan pekan ini hasil survei terhadap kesejahteraan driver angkutan online yang dilakukan oleh Institut Studi Transportasi (Instran) diekspos. 
 
Dendi, pengemudi taksi online, tidak sedikitpun menampik hasil survei yang menunjukkan penurunan pendapatan yang dialami driver dibandingkan dengan saat memulai profesi mengemudi.
 
Awalnya, dia menjadi mitra Uber pada 2015 dengan pendapatan bersih rata-rata Rp12 juta per bulan. Namun, Uber kemudian menutup aplikasinya di Indonesia pada April 2018. Dendi pun pindah ke Grab yang mengambil alih operasional Uber. 
 
Selama beberapa bulan bergabung dengan Grab, omzet bersih kerja sampingan karyawan swasta salah satu perusahaan itu hanya sekitar Rp5 juta-Rp6 juta per bulan. 
 
Pendapatan yang berkurang itu sepaket pula dengan kerugian di jalan akibat kemacetan. Beberapa aplikator menurut dia tidak memasukkan kemacetan ke dalam penghitungan tarif.
 
"Saya pernah nangis di jalan. Dia argo Rp11.000, tapi saya nganter penumpang sampai tiga jam lamanya, cuma dari Emporium ke Kota Tua. Saya kena stuck [kemacetan]," ungkapnya. 
 
"Saya bilang, pekerjaan ini hanya menjanjikan di awal."
 
Berdasarkan hasi survei Instran,  72,3% pengemudi taksi online yang menjadi responden merasakan penurunan pendapatan dibandingkan saat memulai profesi mengemudi angkutan sewa khusus itu. Survei dilakukan terhadap 300 pengemudi taksi online di Jabodetabek, DI Yogjakarta, Surabaya, dan Bali. 
 
Dari 217 driver yang mengaku berkurang pendapatannya, 32,3% di antaranya merasakan penurunan lebih dari 40% hingga 50%.
 
Beberapa penyebab penurunan pendapatan yang diidentifikasi adalah jumlah angkutan sewa khusus yang semakin banyak, tarif per km turun, poin atau target dinaikkan, bonus diturunkan, konsumen berkurang, kemacetan, dan perubahan kebijakan aplikasi. 
 
Para pengemudi ojek online yang hadir di ruangan itu juga bernasib sama. Di antara mereka, ada yang pernah mengantongi omzet Rp25 juta sebulan pada bulan-bulan pertama bergabung menjadi driver ojol awal 2015. Sayangnya, uang sebesar itu kini sulit didapat.
 
"Gimana enggak berkurang? Driver semakin banyak, target dinaikkan, belum lagi rebutan dengan 'tuyul' [pengemudi yang secara fiktif mengambil order dan mengantar penumpang]," ujar Rusli yang menjadi driver Gojek sejak awal 2016. 
 
Ya, survei Instran menyebutkan 68,7% dari 300 pengemudi ojol yang disurvei mengalami penurunan pendapatan. Dari jumlah itu, 33% mengaku pendapatan berkurang lebih dari 40% hingga 50%.
 
Bersamaan dengan itu, penilaian performa pun dirasa tidak adil. Menurut Rusli, saat order dibatalkan, performa driver langsung diturunkan 25 poin, padahal alasan di balik pembatalan order bisa bermacam-macam. 
 
"Pernah saya diminta customer supaya cepat-cepat datang. Katanya dia sudah menunggu. Eh, begitu saya sampai di gerbang, pembantunya bilang, 'Sebentar ya, Bapak masih di toilet.' Gimana saya enggak cancel?" ungkap Rusli.
 
Sayangnya, mekanisme klarifikasi dilakukan belakangan. Sistem penilaian performa dianggap semakin tidak fair ketika driver kembali mendapatkan order, kenaikan poin hanya 2. 
 
"Adil semacam apa kalau sistemnya seperti ini?" ujar Rusli yang juga pengurus Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). 
 
Hubungan Industrial
Itu baru soal pendapatan. Soal asuransi kesehatan (BPJS kesehatan), survei Instran menyebutkan 83,2% pengemudi taksi online membayar iuran secara pribadi.
Sisanya dibayar oleh perusahaan yang menjadi tempat pekerjaan utama mereka (karyawan swasta) dan oleh pemerintah (PNS). Untuk BPJS ketenagakerjaan, iuran 75% pengemudi taksi online dibayar oleh perusahaan, sedangkan 25% oleh aplikator. 
 
Komposisi yang hampir sama juga terjadi pada ojol. Sebanyak 80,4% driver membayar sendiri iuran BPJS kesehatan. Sementara untuk BPJS ketenagakerjaan, 33,3% iuran driver dibayar secara pribadi; 44,4% oleh perusahaan; dan 22,2% oleh penerintah.
 
Di sisi lain, sebagian besar driver ojol mengaku tidak mendapatkan bantuan dari aplikator saat mengalami kecelakaan. Ini diakui oleh 81,3% responden yang pernah mengalami kecelakaan.  
 
"Kami memang ada asuransi yang menanggung Rp25 juta setahun kalau terjadi kecelakaan. Tapi, itu ditanggung kalau kami sedang dalam posisi antar penumpang. Kalau enggak lagi antar penumpang, kami enggak dapat sekalipun aplikasi dalam kondisi on," kata Rusli.
 
Berdasarkan kondisi itu, tidak mengherankan jika banyak pengemudi ojol menjadikan pekerjaan mereka saat ini hanya sementara. Sebanyak 44% responden menganggap pekerjaan ini tidak menjanjikan masa depan, 39% ragu-ragu, 16% menjawab menjanjikan masa depan, dan 1% tidak menjawab. 
 
"Hanya 16% driver ojol yang bilang menjanjikan masa depan. Selebihnya tidak dan ragu-ragu. Artinya kalau ada opsi lain, mereka akan beralih [pekerjaan]," ujar Ketua Umum Instran Darmaningtyas.
 
Persepsi yang sama juga terjadi pada pengemudi taksi online. Sebanyak 42% responden menganggap pekerjaan mereka saat ini tidak menjanjikan masa depan. Hanya 19,3% responden yang menilai pekerjaan mengemudi taksi online menjanjikan masa depan, sedangkan 38,7% ragu-ragu. 
 
"Apakah pekerjaan ini memberikan kesejateraan kepada masyarakat, data-data ini sebenarnya menggugurkan," kata Darmaningtyas. 
 
Sudah saatnya sistem hubungan kerja antara aplikator dengan pengemudi yang menjadi mitranya diatur rapi. 
 
Tabel Pendapatan Kotor Pengemudi Taksi Online
Pendapatan (Rp/hari)Pengemudi (%)
<300.000 22,7
300.500-400.00029,3 
400.500-500.000
 23,7  
500.500-600.00015
>600.000 9,3
Sumber: Survei Instran, 2018
 
Tabel Pendapatan Kotor Pengemudi Ojek Online 
Pendapatan (Rp/hari)Pengemudi (%)
100.000
13 
100.500-150.000 28,7
150.500-200.000 32
150.500-200.000 32
200.500-250.000 17
250.500-300.000 
7,7
>300.000
1,7
Sumber: Survei Instran, 2018
 
UMP
  • DKI Jakarta: Rp3.648.035
  • Jawa Barat: Rp1.544.360
  • DIY: Rp1.454.154
  • Jawa Timur: Rp1.508.894
  • Bali: Rp2.127.157
  •  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Sri Mas Sari
Editor : Miftahul Ulum
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper