Bisnis.com, JAKARTA -- Kita sering mendengar tentang bahaya defisit neraca perdagangan dan bahkan banyak ahli yang mengatakan defisit berkepanjangan akan membuat negara krisis dan kemudian ambruk.
Kita sering membuat analogi mengelola negara sama dengan mengelola perusahaan. Yang penting, neraca akhir tahun dan aliran kas lancar atau cashflow. Balance sheet dan likuiditas.
Perusahaan yang terus menerus merugi pastilah menuju ke kehancuran. Begitu juga negara. Sebab, yang diproduksi jauh lebih sedikit dari yang dimakan.
Ekspor jauh lebih sedikit dibanding dengan yang diimpor. Itu yang selalu disebut oleh para ahli. Besar pasak dari tiang harus dicegah, begitu nasihat orang tua pada anak-anaknya.
Teori harus untung ini dibuat begitu general sehingga perusahaan yang sedang berinvestasi, di mana semua modal investasi dan modal kerjanya diputar dalam siklus untuk menciptakan produk baru atau penetrasi pasar yang baru, pun dianggap sebagai suatu yang tabu.
Intinya, tidak boleh ada yang rugi. Harus tiap tahun untung dan tiap tahun tidak ada defisit.
Meski, ada negara yang sudah mengalami defisit neraca perdagangan sejak 1980 hingga sekarang. Hampir lebih dari 30 tahun. Tapi tidak juga bangkrut.
Bahkan, para ekonom sering menjadikan policy-nya sebagai benchmark. Negara itu bernama Amerika Serikat, yang sejak 1980-an mengalami defisit neraca perdagangan.
Sejak 1960 hingga 2018, jika dihitung, rata-rata Amerika Serikat mengalami neraca perdagangan negatif US$47,886 miliar. Pada kuartal II/2018, defisitnya mencapai US$101 miliar atau 2% dari PDB.
Dalam sebuah tulisan berjudul "Currency Manipulation, The US Economy and The Global Economic Order" pada Desember 2012, Direktur Peterson Institute Fred Bergsten membuat konklusi: Amerika Serikat adalah negara dengan defisit neraca perdagangan terbesar, mencapai US$500 miliar-US$700 miliar atau 3% dari PDB tiap tahunnya, selama 30 tahun lebih. Kedua, Inggris.
Amerika Serikat rata-rata dapat mempengaruhi nasib kerja 1 juta-5 juta orang.
Amerika Serikat hingga kini disebut superpower. Negara adidaya. Termasuk defisitnya.
Bahkan, jarang kita mendengar ada ahli ekonomi Indonesia yang mengatakan Amerika Serikat tidak produktif dan tidak mengalami masalah dengan daya saing produk teknologinya.
Begitu juga dalam contoh perusahaan. Ada perusahaan industri pesawat terbang Eropa bernama Airbus yang pernah mengalami kerugian berturut-turut selama 14 tahun ketika sedang melakukan investasi pengembangan produk berteknologi tinggi Family Airbus A300-A310, A320, A330, dan kini A350.
Airbus kini menjadi industri pesawat terbang terbesar kedua setelah Boeing. Duopoli yang menguasai pasar pesawat terbang di atas 150 penumpang.
Ada negara yang mengalami current account deficit lebih dari 30 tahun. Ada perusahaan yang pernah mengalami losses berkepanjangan 10 tahun.
Kedua contoh ini mungkin patut dipelajari dengan seksama untuk menyelidiki apa yang menyebabkan defisit neracara perdagangan atau losses tidak menyebabkan kehancuran ekonomi.
Ada negara yang terus menerus surplus dalam neraca perdagangannya yakni Jepang. Kekuatan industri dan keajegannya dalam memproteksi pasar dalam negeri telah menyebabkan negara itu mengalami surplus neraca perdagangan.
Kita memang perlu membalik arah ekonomi, dari defisit ke surplus neraca perdagangan. Ekspor melebihi impor adalah suatu keharusan.
Trade Balance Improvement is essential. Agar semua kapasitas industri yang terpasang dapat terutilisasi dengan baik dan lapangan kerja di industri manufaktur kembali terbuka.
Kita tak mungkin memotokopi kebijakan fiskal dan moneter atau mencontoh negara seperti Amerika Serikat yang mampu bertahan untuk defisit neraca perdagangan dan current account deficit-nya selama lebih dari 30 tahun dan tetap survive.
Sebab, kita tidak seperti Amerika Serikat. Mereka memiliki kekuatan yang tidak kita miliki yakni nilai mata uangnya yang semakin perkasa. Melalui fluktuasi mata uang ini, dia mampu memporakporandakan banyak wilayah ekonomi yang sedang tumbuh.