Tiba-tiba saja saya ingat peristiwa 21 tahun yang lalu, Oktober 1997. Sebagai wartawan muda, saya datang di Hong Kong sendirian. Bukan dari Jakarta, melainkan dari Bangkok, setelah meliput pertemuan ASEM (Asia-Europe Meeting), yang dihadiri banyak menteri Ekonomi dari Asia dan Eropa, termasuk Indonesia.
Di Hong Kong, saya bergabung dengan Mas Syarifudin, Kepala Pemberitaan Bisnis Indonesia, yang telah tiba duluan. Hajatan yang kami hadiri mirip dengan eventdi Bali saat ini: Joint Annual Meeting IMF-World Bank.
Dari Indonesia hadir Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono dan Menteri Keuangan Mar'ie Muhamad. Ada pula Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad dan George Soros, yang kala itu dikenal sebagai spekulan kawakan. Nama Soros melambung setelah dituduh oleh Dr M, julukan Dr Mahathir, 'menghajar' mata uang Asia.
Mahathir dan Soros menjadi "newsmaker" sidang tahunan IMF tersebut. Menjawab tuduhan Dr M itu, Soros bilang Mahathir "mengancam" negerinya sendiri, dalam press conference"gaduh" yang saya ikuti.
Tentu, krisis rupiah Indonesia dan won Korea Selatan, yang terkena imbas krisis Thailand, tak kalah seru menjadi topik bahasan.
Kisah tersebut hanyalah sekelumit memori yang mengesankan saya, saat pertama kalinya liputan event ekonomi besar di luar negeri. Apalagi, ketika itu Indonesia baru saja 'angkat tangan' dan minta dukungan program ekonomi kepada IMF, tepatnya pada 8 Oktober 1997.
Lalu pada 15 Januari 1998, Presiden Soeharto menandatangani letter of intent bersejarah. Diawasi oleh Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus dengan tangan bersedekap, Pak Harto menandatangani LoI untuk menjalankan reformasi struktural, sebagai persyaratan paket finansial senilai US$43 miliar untuk stabilisasi ekonomi.
Indonesia saat itu berada pada pusaran krisis Asia. Padahal, semula ‘hanyalah’ ketularan dari Thailand. Saat itu, ekonomi Indonesia tengah terhempas. Dalam waktu sangat singkat rupiah jatuh. Dari level Rp2.600-an per dolar AS pada 1 Juli 1997, anjlok menjadi Rp3.600 per dolar AS pada 1 Oktober.
Indonesia saat itu berada pada pusaran krisis Asia. Padahal, semula ‘hanyalah’ ketularan dari Thailand.
Lebih parah lagi jika dibandingkan dengan posisi pada 1 Januari 1997, di mana rupiah masih berada di kisaran Rp2.376 per dolar AS. Hanya dalam 10 bulan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS anjlok lebih dari 51% pada tahun 1997 itu.
Jelas, banyak orang panik. Sesuatu yang tak biasa, mengingat sebelumnya nilai tukar rupiah dikelola dengan cara managed floating alias mengambang terkendali.
Sekadar gambaran, sejak 1 Januari 1988 hingga 1 Januari 1997, rupiah bergerak dari Rp1.660 menjadi Rp2.376 per dolar AS. Artinya, dalam kurun waktu 10 tahun itu, rupiah hanya terdepresiasi 43,1%, atau rata-rata 4% per tahun!
Itu terjadi, lantaran dalam sistem managed float, perubahan nilai mata uang ditentukan oleh perubahan band intervensi oleh bank sentral, bukan sepenuhnya oleh mekanisme pasar.
Namun, begitu Indonesia tertular virus Thailand, semuanya berubah. Oleh para spekulan dan investor hot money--sebutan bagi uang yang gampang masuk tetapi juga gampang keluar dari sebuah perekonomian--Indonesia dianggap mirip dengan Thailand.
Akibatnya, gejolak baht yang memuncak pada Juli 1997 memberi tekanan drastis pada rupiah. Cadangan devisa Indonesia terkuras, karena bank sentral harus intervensi. Banyak pihak kala itu menyebutnya sebagai Patpong Effect. Patpong adalah red district alias tempat hiburan malam di Bangkok, satu lokasi yang kala itu terkenal di kalangan orang Jakarta.
Sebulan setelah terkena Patpong Effect, otoritas moneter melakukan langkah drastis. Pada 14 Agustus 1997, nilai tukar rupiah dilepaskan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pernyataan resmi yang disampaikan, "belajar dari pengalaman Thailand," maka sistem nilai tukar sejak itu berubah menjadi free float. Rupiah mengambang bebas, terserah apa maunya pasar.
Tujuannya, seperti dijelaskan oleh Pak Mar'ie dan Pak Djiwandono, untuk menghembat cadangan devisa. Kala itu cadangan devisa anjlok dari sekitar US$20 miliar menjadi US$10 miliar. Cadangan itu tersedot separuhnya untuk intervensi, mempertahankan nilai tukar rupiah. Saya juga turut menjadi saksi sejarah dalam perubahan kebijakan dramatis, yang diumumkan oleh Dewan Moneter di gedung Bank Indonesia itu.
Singkat cerita, sejak saat itu rupiah seperti roller coaster. Hanya dalam tempo singkat, nilai tukar rupiah terus merosot, dari level Rp2.300-an pada awal tahun menjadi Rp10.000 per dolar AS pada akhir 1997. Awal 1998, rupiah sempat menyentuh Rp16.000 per dolar AS. Banyak perusahaan nggak sanggup membayar utang dolar, mengurangi usaha, bahkan gulung tikar.
Singkat cerita, sejak saat itu rupiah seperti roller coaster. Hanya dalam tempo singkat, nilai tukar rupiah terus merosot, dari level Rp2.300-an pada awal tahun menjadi Rp10.000 per dolar AS pada akhir 1997
Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 7,5% pada 1997 langsung melambat jadi 4,6%. Padahal, dua tahun sebelumnya ekonomi Indonesia masih tumbuh 8,2% dan 7,9%. Tahun berikutnya, cerita PHK terjadi di mana-mana, antrian sembako marak di banyak pertokoan, dan bank-bank dilanda rush alias penarikan dana besar-besaran. Pertumbuhan ekonomi tahun 1998 tragis, minus hampir 14%. Mundur jauh ke belakang.
Puncaknya, Pak Harto menyerahkan kursi Presiden pada akhir Mei 1998, setelah didahului berbagai huru-hara di sejumlah kota. Krisis nilai tukar, yang diikuti krisis perbankan, lalu krisis ekonomi yang meluas, sehingga melahirkan krisis kepercayaan.
Akibatnya, krisis politik berakselerasi begitu cepat. Fundamental ekonomi yang rapuh disertai fundamental politik yang rentan membuat Pak Harto tak mampu bertahan setelah 32 tahun berkuasa. Indonesia memasuki era reformasi.
***
Saat menyelesaikan tulisan ini, saya berada di Bali, larut kembali dalam suasana Annual Meeting IMF-World Bank. Meski tampak ada kemiripan, hajatan global ini berlangsung dalam lingkungan ekonomi dan suasana yang relatif berbeda.
Banyak event digelar secara paralel, mulai dari infrastruktur, energi terbarukan, green economy, ekonomi digital, pembangunan sosial dan berbagai serial diskusi, seminar dan forum investasi.
Di tataran kebijakan, seperti ritual rutin, seruan mengenai reformasi struktural menjadi agenda utama hajatan lembaga multilateral itu. Juga pujian.
Dalam paparan outlook ekonomi global, IMF menganggap Indonesia sebagai kisah sukses di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Ada perang dagang, ada pula fenomena dolar AS pulang kandang. Banyak orang meyakini sebagai fenomena super dolar. Namun, Indonesia dinilai sanggup bertahan.
Lihat saja datanya. Pada pekan kedua Oktober ini, Rupiah bahkan sempat menembus Rp15.300 per dolar AS. Melemah 10% sepanjang 2018. Tentu skalanya beda dibandingkan dengan anjloknya rupiah sebesar 51% pada 10 bulan pertama tahun 1997 silam.
Bedanya lagi, ekonomi Indonesia tidak serta merta lunglai. IMF memang merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini dari 5,3% menjadi 5,1%. Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di atas proyeksi ekonomi dunia yang cuma 3,7%, lebih lanbat dari proyeksi semula 3,9%.
Prospek ekonomi Indonesia juga di atas kinerja emerging markets. Rata-rata ekonomi negara yang dianggap tumbuh pesat (emerging) itu juga dikoreksi dari 4,9% menjadi 4,7% pada tahun ini.
Artinya, ekonomi dunia memang menghadapi apa yang disebut downside risk. Risiko yang bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi dunia memang menghadapi apa yang disebut downside risk. Risiko yang bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Pemicunya antara lain ulah Mr Donald Trump, yang melancarkan perang dagang terhadap China. Dan, bukan cuma Beijing yang menjadi lebih sibuk. Hampir semua pembuat kebijakan ekonomi negara-negara di dunia ikutan kalang kabut. Apalagi ditambah ketidakpastian harga minyak dan fenomena super dolar.
Kita mesti siaga dengan mengencangkan sabuk pengaman. Pasalnya, lingkungan ekonomi global yang turbulen diperkirakan masih akan terus berlangsung beberapa waktu ke depan.
Maka, negara yang berdiri di atas fundamental ekonomi yang rapuh bakal menghadapi risiko kian besar. Moga-moga itu bukan kita.
***
Kebetulan pula, Sidang Tahunan IMF-Bank Dunia kali ini berlangsung dalam suasana kebatinan yang berbeda pula. Indonesia tengah berduka akibat rentetan bencana alam di sejumlah daerah. Suhu politik juga mulai panas menjelang Pemilu 2019.
Di satu sisi tantangan kebijakan bertambah, di sisi lain ruang gerak pemerintah kian terbatas. Kareanya, ada baiknya pemerintah fokus pada skala prioritas. Mendahulukan yang pokok dan penting.
Nilai tukar rupiah adalah salah satu prioritas penting, agar tidak bergerak liar terseret persepsi dan jadi "gorengan" spekulan, seperti tahun 1997/1998.
Penting terus mengedukasi kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi. Jangan pula pelaku pasar panik, sehingga merasa harus memborong dolar hari ini karena takut rupiah melemah lagi. Jika itu terjadi, rupiah akan kian melemah karena perilaku yang didorong oleh self fulfilling prophecy.
Dalam fenomena super dolar saat ini, perilaku panik justru akan memperburuk keadaan. Apalagi tren penguatan nilai dolar AS memang didukung oleh kenaikan suku bunga federal serta yield US-treasury bond. Imbal hasil atau yield surat utang pemerintah AS untuk tenor 10 tahun saat ini sudah di atas 3,4%.
Beruntung, fundamental ekonomi Indonesia kini relatif lebih baik, meski harus disadari tidaklah baik-baik amat. Masih ada problem struktural yang perlu ditambal.
Fundamental ekonomi Indonesia kini relatif lebih baik, meski harus disadari tidaklah baik-baik amat. Masih ada problem struktural yang perlu ditambal.
Pasalnya, meski sistem perbankan Indonesia relatif solid dan prudent, ada bolongdi sektor manufaktur dan konsumsi, penghasil defisit transaksi berjalan. Ia membutuhkan reformasi radikal, agar tidak lagi menggerogoti pondasi ekonomi akibat ketergantungan terhadap impor.
Daya tarik pariwisata juga perlu terus ditingkatkan. Ini dapat menjadi salah satu obat untuk mengatasi defisit transaksi berjalan, yang akan memperkokoh pondasi perekonomian.
Bolehlah kita berharap, sidang tahunan IMF, dan berbagai agenda sampingan yang menghasilkan miliaran dolar deal bisnis dan investasi, menjadi pintu masuk untuk memperkuat struktur ekonomi Indonesia.
Jangan lupa pula, efek getok tular terhadap potensi pariwisata kita, yang cepat mendatangkan devisa. Itulah yang akan membantu rupiah bertahan, terhadap dolar yang perkasa.
Jadi, tak benar pula jika ada yang menganggap sidang IMF di Bali tak ada gunanya. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)
- Ket: Artikel ini telah terbit di rubrik Beranda Bisnis Indonesia hal 1 edisi 12 Oktober 2018.