Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha sektor ritel pesimistis target penjualan ritel yang ditargetkan tumbuh sebesar 10% hingga akhir tahun ini bakal tak tercapai.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan para peritel merasakan imbas dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pasalnya, pengusaha ritel sangat bergantung pada industri dan pemasok barang dagangan.
“Selama bahan bakunya ada, yang impor pasti naik. Tapi tunggu dari industri dan pemasok
karena harga yang menentukan mereka,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (10/9).
Tak dipungkiri, nilai tukar rupiah yang terus melemah tentu akan memberatkan pengusaha karena harga barang yang dijual menjadi naik dan dorongan raw material yang menjadi lebih mahal.
Menurutnya, apabila pengusaha tak menaikkan harga pasti juga akan membebani pengusaha lantaran beberapa barang komponen barang bahan baku pasti naik.
Baca Juga
Saat ini, barang elektronik menjadi salah satu produk ritel yang akan mengalami kenaikan harga cukup signifikan akibat pelemahan dolar AS terhadap rupiah.
"Tak semua pengusaha menaikkan harga barangnya. Beberapa perusahaan telah melakukan perhitungan mengenai dampak nilai tukar dan beserta kenaikan sejak akhir atau awal tahun sebelumnya. Kenaikan harga pun dilakukan secara gradual," tuturnya.
Menurutnya, apabila daya beli masyarakat rendah akibat nilai tukar rupian, dikhawatirkan pertumbuhan industri ritel cukupterganggu. Sepanjang tahun lalu, pertumbuhan sektor ritel di Indonesia sekitar 7% hingga 7,5%.
"Untuk tumbuh double digit atau target di awal sebesar 10% agak susah. Diperkirakan hanya sebesar 5%an," ucap Tutum.
Dia menilai penguatan dolar AS saat ini harus dijadikan sebagai sebuah momentum untuk memberdayakan produk dalam negeri.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Ali Soebroto menuturkan penjualan produk elektronik diharapkan hingga akhir tahun ini stabil di sekitar 10%.
"Konsumen elektronik seperti TV turun terus dari tahun ke tahun karena permintaannya sedikit. Untuk handphone memang tahun lalu naik tapi tahun ini diperkirakan akan turun karena konsumen memilih nabung untuk travelling," katanya.
Managing Director Nielsen Indonesia Agus Nurudin menuturkan saat ini sektor ritel belu. ada perubahan sejauh produsen belum merubah harga atau dengan kata lain masih normal.
"Dampaknya nanti setelah harga barang yang terkena semua implikasi dollar dan regulasi naik baru berpengaruh ke ritel. Pertumbuhan ritel tahun ini berkisar 3,5%" ucapnya.
Sekretaris Perusahaan Ace Hardware Helen Tanzil menuturkan sebanyak 50% produk yang dijualnya merupakan barang impor.
Meski jumlah barang impor lebih banyak dari barang lokal, tetapi perusahaan belum berniat untuk menaikkan harga jual kepada konsumen.
"Kami masih observasi, belum ada penyesuaian harga. Modal kerja untuk membeli barang impor juga masih terkendali," ujarnya.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Enny Sri Hartati menuturkan memang kondisi ritel belum mengalami rebound atau kembali ke pertumbuhan yang double digit.
Tantangan sektor ritel selain adanya pengaruh ekonomi digital, saat ini dampak dari pajak impor dan nilai tukar rupiah yang merosot tentu sektor ritel semakin terhimpit.
Apalagi sektor ritel ini pendukung pertumbuhan ekonomi nasional dari sisi perdagangan.
"Tantangan saat ini untuk sektor ritel sangat berat. Pemerintah perlu ada kompensasi agar penurunannya tak signifikan dengan membuka kesempatan produktivitas lokal," tutur Enny.
Berdasarkan survei penjualan eceran Bank Indonesia, penjualan eceran pada Juli 2018 tumbuh lebih tinggi dimana Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Juli 2018 tercatat sebesar 216,0, atau tumbuh 2,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan 2,3% (yoy) pada Juni 2018.
Peningkatan penjualan eceran antara
lain dipengaruhi oleh tingginya permintaan pada musim tahun ajaran baru dan dampak dari pencairan Gaji ke-13 PNS dan pensiunan.
Berdasarkan kelompok komoditas, meningkatnya penjualan eceran terutama didorong kinerja penjualan kelompok komoditas sandang yang tercatat tumbuh 13,0% (yoy), lebih tinggi
dibandingkan -11,2% (yoy) pada bulan Juni 2018, dan kelompok bahan bakar kendaraan bermotor yang tumbuh sebesar 15,4% (yoy), lebih tinggi dari 10,7% (yoy) pertumbuhan bulan sebelumnya
Penjualan eceran diperkirakan tetap tumbuh stabil pada Agustus 2018. Hal itu tercemin dari IPR yang akan tumbuh sebesar 2,8% (yoy), relatif stabil dibandingkan dengan
2,9% (yoy) pada Juli 2018.
Pertumbuhan tersebut ditopang oleh penjualan pada kelompok sandang, perlengkapan rumah tangga lainnya, serta barang budaya dan rekreasi.
Pertumbuhan tertinggi tercatat pada kelompok komoditas sandang yang tumbuh 21,6% (yoy), meningkat dibandingkan 13,0% (yoy) pada Juli 2018.
Selanjutnya, juga didukung oleh penjualan kelompok perlengkapan Rumah Tangga Lainnya dan kelompok barang budaya dan rekreasi yang masing-masing diperkirakan tumbuh 8,0% (yoy) dan 7,6% (yoy), meningkat dari 5,3% (yoy) dan 5,6%.(yoy) pada Juli 2018.
Selain itu diperkirakan penjualan eceran pada 3 bulan mendatang yakni Oktober 2018 relatif meningkat.
Hal ini tercermin dari Indeks Ekspektasi Penjualan (IEP) 3 bulan yang
akan datang sebesar 140,5 meningkat dibandingkan 128,4 IEP pada bulan sebelumnya.
Selain itu, responden juga memperkirakan pertumbuhan penjualan eceran pada Januari 2019 sedikit meningkat, terindikasi dari IEP 6 bulan yang naik dari 160,3 pada Desember 2018 menjadi 161,6 pada periode Januari 2019.