Bisnis.com, JAKARTA — Rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Konsultan Pajak menuai polemik. Selain dinilai bukan bagian dari reformasi perpajakan, RUU tersebut dianggap terlalu monopolistik karena istilah konsultan pajak hanya akan merujuk kepada satu asosiasi.
Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menyebutkan bahwa sebagai sebuah RUU Konsultan Pajak harus memperhatikan kepentingan semua stakeholder yang terkait dengan RUU tersebut. Karena banyak kaitannya, RUU tersebut perlu diharmonisasikan dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau KUP.
“RUU ini harus dikaitkan dengan Pasal 32 Ayat 3 UU KUP memberikan hak kepada WP untuk dapat memberikan kuasa kepada pihak lain yang mengerti mengenai perpajakan. Jadi UU KUP, merupakan pintu masuk bagi profesi konsultan pajak,” ungkap Darussalam dalam ”Diskusi Publik RUU Konsultan Pajak” di Universitas Indonesia, Senin (10/9/2018).
Dalam catatan Bisnis, Pasal 5 RUU tersebut yang paling mendapat banyak kritikan. Pasal itu diangap mempersempit definisi konsultan pajak dan hanya memberikan ruang bagi konsultan pajak yang masuk di dalam satu asosiasi tertentu. Kewenangan asosiasi yang terlalu besar juga dianggap sebagai ancaman bagi lulusan pajak dari perguruan tinggi.
Padahal, menurut Darussalam, saat ini jumlah konsultan pajak di Indonesia relatif belum ideal. Pada 2017 diperkirakan jumlahnya hanya 3.500 konsultan. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang diperkirakan mencapai 250 juta, perbandingan antara konsultan pajak dan jumlah penduduk sebanyak 1:73.429. Rasio antara jumlah penduduk dan konsultan pajak yang masih rendah ini jauh di bawah Spanyol yang memiliki perbandingan 1:1.209.
“Kondisi ini tentu mengharuskan adanya upaya luar biasa untuk meningkatkan jumlah konsultan pajak tanpa harus menurunkan kompetensi,” jelasnya.
Oleh karena itu, dia menyarankan, jika terkait dengan upaya mencapai tujuan dan menjaga kompetensi, solusinya adalah pemberian jalur prioritas kepada lulusan pendidikan di bidang perpajakan. Artinya, ketentuan mengenai Pasal 5 yang memberikan kewenangan kepada ketua umum organisasi konsulan pajak untuk mengatur konsultan pajak baik dalam bentuk pembentukan cabang maupun keanggotaan perlu ditinjau ulang.
Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak UI Haula Rosdiana. Dia menjelaskan bahwa RUU Konsultan Pajak justru mendegradasi peran pemerintah. Selain itu, rencana RUU konsultan pajak juga menjadikan beberapa catatan baginya.
Pertama, penyebutan nama organisasi tertentu dalam RUU Konsultan Pajak akan menimbulkan efek distrust effect, policy cost, dan compliance cost. Kedua, override RUU Konsultan Pajak atas UU KUP. Dia secara khusus juga meminta DPR agar RUU tersebut mengakomodir kepentingan dunia pendidikan khususnya pendidikan yang terkait dengan perpajakan.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR M. Misbakhun mengaku dirinya telah meminta pemerintah untuk ikut membahas RUU Konsultan Pajak. Dia mengklaim bahwa RUU ini akan mengimbangi RUU KUP yang secara substansial akan banyak memperkuat peranan negara dalam hal perpajakan.
Selain itu, dia menegaskan bahwa RUU ini sama sekali tidak mendegradasi peran negara.
Menurutnya, semua pihak harus melihat bahwa memasukkan sebuah kepentingan yang tidak terakomodir, lalu memberi penolakan yang bertolak belakang dalam sebuah UU sangat tidak pas. "Kita tidak bisa membicarakan suatu UU ketika kepentingan kita tidak terakomodasi, lalu memberi refusing yang bertolak belakang dan ingin menegasikan peran itu," jelasnya.
Meski demikian, dia berjanji akan mengakomodir kepentingan dan masukan para akademisi terkait RUU Konsultan Pajak yang dianggap kurang berpihak pada kalangan akademisi.
“Saya menangkap UU Konsultan Pajak sebagai kebutuhan, kalau akademisi ingin masuk, silahkan masuk tidak ada masalah dan saya siap menampung seluruh masukan akademisi untuk saya sampaikan ke DPR,” ujarnya.