Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dinilai belum bisa memaksimalkan potensi dari implementasi kesepakatan Pasar Tunggal Penerbangan di kawasan Asia Tenggara atau Asean Single Aviation Market (SAM).
Fauziah Zen, Senior Economist dari Economic Research Institute for Asean and East Asia (Eria), menilai bahkan Indonesia cenderung 'takut' dengan penerapan Asean SAM (Open Sky) itu.
Padahal, jelasnya, dalam berbagai forum regional Indonesia dinilai memiliki peluang besar untuk menjadi pelaku utama di industri penerbangan di kawasan Asia Tenggara.
"Indonesia belum mengambil leading role dalam hal agreement ini. Indonsia bahkan terkesan ketakutan, menganggap MAS sebagai ancaman," ungkapnya kepada Bisnis, pekan lalu.
Fauziah mengatakan memang Indonesia, bersama Laos, menjadi negara yang terakhir meratifikasi kesepakatan antarnegara itu. Namun, potensi besar tetap dimiliki Indonesia dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.
Potensi pariwisata Indonesia diyakini bisa dioptimalkan oleh sektor penerbangan nasional. Dia pun menegaskan bahwa Indonesia tidak perlu takut terhadap era pasar tunggal itu.
"Sampai fifth freedom [right] kita masih aman sekali. Kita banyak sekali peluang," tegasnya.
Sementara itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif periode 2011--2014, Mari Elka Pangestu menilai pemerintah perlu menambah jumlah dari lima bandara internasional yang telah dibuka untuk Asean Open Sky.
Sebagai informasi, kebijakan pembukaan lima bandara internasional tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No. 69/2013 tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional.
Pasal 37 huruf (a) beleid tersebut menyatakan bahwa bandara internasional yang masuk dalam perjanjian Asean Open Sky yaitu Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Bandara Juanda di Surabaya, Bandara Kualanamu di Deli Serdang, Bandara I Gusti Ngurah Rai di Denpasar, dan Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar.