Bisnis.com, JAKARTA - Tren suku bunga yang lebih tinggi di negara maju bisa berprospek merusak daya tarik perusahaan di negara berkembang, yang diuntungkan dari laju pertumbuhan ekonomi.
Seperti diketahui, pada akhir bulan ini, Bank Sentral AS (The Federal Reserve) diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate/FFR) saat rapat kebijakan FOMC.
Tekanan di pasar negara berkembang pun telah bergeser dari mata uang ke pasar saham di perdagangan bursa negara berkembang setidaknya hingga Selasa (4/9). Indeks MSCI Emerging Market melemah untuk hari kelima, dan mencetak pelemahan tertajam dalam tiga pekan.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks MSCI Emerging Market ditutup melemah 0,66% ke 1.040,17 pada perdagangan Selasa (4/9) dan turun 2,87% dalam sepekan.
“Kami tetap dengan pandangan bearish untuk tingkat utang, suku bunga, dan valuta asing, serta menahan posisi short untuk kawasan high-beta, termasuk Indonesia dan Malaysia yang akan menjadi fokus investor,” tulis Direktur Eksekutif Morgan Stanley, James Lord, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (5/9/2018).
Adapun, penguatan dolar AS telah membuat biaya utang untuk negara-negara berkembang, mulai dari Brasil, Malaysia, hingga Afrika Selatan, menjadi lebih mahal. Tekanan dolar AS tersebut mulai muncul pada Selasa (3/9) setelah AS mengeluarkan data manufaktur yang menguat.
Data ekonomi AS yang positif tersebut diperkirakan mendorong Federal Reserve untuk terus menaikkan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate/FFR). Hal tersebut pun dinilai berpotensi membawa perekonomian Afrika Selatan memasuki resesi.
“Permasalahan kali ini bukan hanya tentang fundamental emerging market, tetapi tentang penularan, yang sebagian besar terjadi karena kepemilikan silang (cross-holding) dan tekanan untuk penarikan arus modal, likuiditas dan reaksi kebijakan,” kata Sameer Goel, Head of Macro Strategy for Asia di Deutsche Bank AG, Singapura.
Selain ekuitas Indonesia yang terus melemah selama lima hari berturut-turut seiring dengan upaya Bank Indonesia ingin mengerek suku bunga dan mengancam perlambatan ekonomi terbesar di Asia Tenggara tersebut, pasar saham Filipina juga terus melanjutkan pelemahan setelah laporan inflasi dirilis.
Data inflasi Filipina yang menembus 6% pada bulan lalu diperkirakan bakal menghambat potensi kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Filipina.
“Investor telah lebih selektif, dan negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi rendah, defisit neraca berjalan, dan inflasi tinggi akan menderita aksi jual yang lebih kuat,” kata Koji Fukaya, CEO di FPG Securities, Tokyo.