Bisnis.com, JAKARTA — Kondisi industri elektronik masih lesu hingga saat ini. Perubahan pola konsumsi masyarakat dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS turut menjadi penyebabnya.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan industri barang logam, komputer, barang elektronik, optik, dan peralatan listrik secara kumulatif sepanjang 2017 sebesar 2,79%.
Namun, pada kuartal I/2018, kinerja sektor ini terkoreksi 2,41%. Kondisi ini melanjutkan tren perlambatan pertumbuhan pada kuartal terakhir tahun lalu sebesar 0,27% dibandingkan dengan 3 kuartal sebelumnya yang masih tumbuh di kisaran 3%-4%.
Adapun, pada kuartal kedua tahun ini, sektor tersebut mulai tumbuh sebesar 0,47%. (Lihat grafis)
Daniel Suhardiman, Ketua Bidang Home Appliances Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel), menyatakan pelaku industri elektronik memang merasakan penurunan kinerja yang diperkirakan mencapai sekitar 10%.
“Kami memang belum tahu persis [penyebabnya], tetapi kemungkinan karena masyarakat semakin cerdas dan tidak lagi konsumtif untuk elektronik. Pola konsumsi masyarakat berubah,” ujarnya Kamis (9/8).
Perkiraan tersebut muncul karena permintaan barang elektronik tidak tumbuh, padahal jumlah keluarga di Indonesia tidak ikut berkurang dan malah bertambah.
Selain itu, dengan penerapan standar nasional Indonesia (SNI), kualitas produk elektronik dalam negeri meningkat sehingga lebih tahan lama. Dengan demikian, usia produk yang dimiliki masyarakat bertambah panjang dan waktu replacement semakin mundur.
Daniel menambahkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga menjadi faktor penurunan penjualan elektronik. Para produsen terpaksa menaikkan harga jual karena 70% bahan baku merupakan produk impor.
“Belakangan ini beberapa merek sudah menaikkan harga. Dampaknya berasa. Pada Juli—Agustus, penjualan mulai lesu,” jelasnya.