Bisnis.com, JAKARTA-- Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan mengoptimalkan pinjaman Bank Dunia senilai US$ 200 juta bagi percepatan legalisasi aset serta penguatan infrastrktur reforma agraria.
Seperti diketahui, pada 18 Juli 2018 lalu International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dari World Bank Group telah menyetujui pinjaman Program Percepatan Reforma Agraria (Kebijakan Satu Peta) dengan biaya sebesar US$240 juta, dan US$200 juta berasal dari World Bank dan US$40 juta dari pemerintah Indonesia.
Sekitar 4,3 juta pengguna tanah diharapkan akan memperoleh manfaat dari program tersebut. Program tersebut diharapkan mampu mempercepat upaya pemerintah di sektor agraria melalui pemetaan partisipatif, layanan informasi tanah elektronik, dan pendaftaran tanah yang sistematis dan lengkap.
Direktur Jenderal Infrastruktur Keagrariaan Kementerian ATR/BPN Adi Darmawan mengatakan pinjaman Bank Dunia akan membantu pemetaan lahan yang berbatasan (buffer zone) dengan perhutanan. Wilayah abu-abu (grey area) tersebut ditemukan di tujuh provinsi di Kalimantan dan Sumatera.
Apalagi, imbuhnya, hal itu sesuai dengan Inpres Nomor 2/2018 tentang Percepatan PTSL, maka buffer zone dipetakan.
"Dana bank dunia untuk penguatan infrastruktur. Karena untuk pemberian haknya, sama dengan PTSL, yaitu dengan dana rupiah murni," ujarnya Selasa (24/7/2018).
Baca Juga
Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil juga menekankan saat ini salah satu masalah adalah batas hutan yang tidak jelas sehingga sulit mengeluarkan sertifikat di perbatasan hutan.
Selain itu imbuh Sofyan, pinjaman juga untuk peningkatan dan perbaikan sistem di kantor-kantor pertanahan melalui best practice yang dimiliki Bank Dunia sekaligus penyediaan tenaga-tenaga terampil. Sofyan mengatakan target besar pemerintah adalah mendaftarkan setiap bidang tanah di Indonesia pada 2025.
“Mengapa bank dunia karena kami membutuhkan expert skill yang punya pengalaman sehingga bisa dipakai best practice untuk e-office.,” tekan Sofyan.
Penggunaan pinjaman itu dipersoalkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyayangkan keputusan pinjaman dana karena seluruh komponen utang tersebut digunakan bukan hanya untuk reforma agraria.
“Komponen utang tersebut digunakan untuk Program Satu Peta, dikombinasikan dengan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan layanan informasi tanah elektronik,” ujarnya.
Dewi mengatakan pinjaman yang dianggap sebagai proses akselerasi atau percepatan reforma agraria bertentangan dengan semangat reforma agraria, yang sedang dijadikan program prioritas Pemerintah Presiden Joko Widodo.
Menurut KPA, Reforma Agraria adalah penataan struktur agraria akibat ketimpangan penguasaan struktur agraria nasional. Ketimpangan tersebut bercirikan sebagian besar rakyat khususnya petani, buruh tani, masyarakat adat tidak memiliki tanah atau bertanah sempit sedangkan kepemilikan tanah sebagian besar masih dikuasai pengusaha.