Bisnis.com, JAKARTA - Pesimisme mewarnai bisnis ritel di Indonesia belakangan ini. Banyak kalangan menganggap hanya tinggal menunggu waktu untuk menutup gedung-gedung bekas usaha rites dengan kain hitam.
Namun, pesismisme itu bukannya tak akan berakhir. Meski masa-masa emas bisnis ritel di Indonesia mulai redup dan banyak ritel raksasa gulung tikar atau menutup gerainya, masih ada semangat untuk menyatakan bahwa bisnis ritel belum benar-benar akan mati.
Tak bisa dipungkiri, akibar maraknya bisnis belanja online, eksistensi bisnis ritel pun tergerus. Itu tak hanya berlaku di Indonesia, Amerika lebih dulu mengalaminya. Kondisi tersebut justru menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan cerdas. "
Tantangan tersebut tentunya merupakan hal serius yang harus segera diantisipasi semua pelaku bisnis ritel. Penyesuaian terhadap perkembangan pun harus dipikirkan dengan matang, bukan hanya sekadar mengubah bisnis model," demikian disampaikan School of Business & Economics Universitas Prasetiya Mulya dalam pernyataan resminya, diterima Senin (23/7/2018).
Lebih jauh disebutkan, dibutuhkan strategi baru untuk mengembangkan bisnis ritel sesuaiperkembangan zaman yang serba digital saat ini. Pelibatan faktor luar dalam mengambil keputusan bisnis, seperti strategi omni-channel marketing, menjadi hal yang perlu dilkaukan. Dengan begitu terjalin interkoneksi aktivitas bisnis secara online dan offline.
“Bukan hanya menjalankan bisnis secara online dan offline saja, melainkan dibutuhkan omni-channel marketing karena konsumen cenderung mengkombinasikan aktivitas di toko online dan offline sebelum melakukan pembelian. Kadang mereka review produk secara online, lalu ke toko offline untuk membeli. Sehingga kegiatan marketing antara online dan offline yang terintegrasi sangat dibutuhkan,” papar Prof. Agus W. Soehadi, Dekan School of Business & Economics Universitas Prasetiya Mulya, dalam talkshow Branding Update yang digagas Program Pendidikan S1 Branding Prasetiya Mulya, bekerja sama dengan Indonesia Branding Association (IBA).
Sementara itu, berdasarkan riset Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (APRINDO) pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia per tahun 2016 mengalami penurunan menjadi 9% dibanding tahun 2014 yang mencapai angka dua digit di 14% hingga 15%.
Krisetiadi Purwanto selaku Product Leadership Director Nielsen Indonesia menjelaskan menurut hasil riset The Nielsen Company Indonesia, penetrasi internet yang luar biasa membuat daya beli masyarakat Indonesia kian mengalami transisi dari yang mengutamakan belanja produk menjadi mendahulukan belanja pengalaman.
“Dari hasil riset terhadap 1.500 responden rumah tangga di Indonesia, konsumen masa kini lebih cenderung menghabiskan dana untuk rekreasi dan gaya hidup ketimbang untuk konsumsi fast moving consumer goods (FMCG),” ungkap Krisetiadi dalam acara yang sama.
Kini tengah terjadi transisi daya beli masyarakat karena konsumen yang semakin cerdas. Kegiatan berbelanja kini bukan hanya sebatas proses membeli kebutuhan, konsumen menuntut adanya pengalaman yang ‘lebih’ ketika mereka berbelanja.
Di sisi lain, Chief Marketing Enabler startup Anterin Jessica Carla menyebutkan bahwa konsumen saat ini melihat social currency yang akan didapat ketika melakukan pembelian suatu brand. "Peritel harus mengedepankan pengalaman dan interaksi dalam setiap touch point dengan konsumennya,” kata Jessica.
Senada dengan Jesica, Direktur Jakarta Aquarium Hans Manansang memaparkan perlunya pendekatan personal kepada konsumen, yang selanjutnya ia sebut sebagai EPIC Point. “Ritel harus menawarkan engagement, personalisation, interaction, dan convenience atau EPIC point ke sisi pengunjungnya,” jelas Hans.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (APRINDO), Roy N. Mande yakin masih ada jalan keluar bagi bisnis ritel untuk keluar dari lorong suram. Meski banyak toko ritel yang tutup, masih terlalu dini untuk mengatakan industri ini di ambang kematian.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kembali performa dari bisnis ritel di Indonesia, Roy menegaskan bahwa industri tidak mati asalkan pebisnis mau menyesuaikan bisnis modelnya guna menyiasati industri ritel yang sedang under performed.
“Mal konvensional cenderung sepi pengunjung, sementara new retail seperti mal berbasis lifestyle yang memberikan experience kuliner, hiburan, dan rekreasi semakin ramai dipadati pengunjung. Penyesuaian ini yang harus dilakukan,” jelas Roy.