Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mengusulkan kenaikan nilai subsidi Solar hingga Rp2.500 per liter pada tahun depan. Langkah ini ditempuh untuk menjaga daya beli masyarakat dan ketahanan finansial PT Pertamina (Persero).
Dalam rapat dengan Komisi VII DPR, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengusulkan adanya batas tertinggi untuk nilai subsidi Solar pada 2018 untuk mengantisipasi fluktuasi harga minyak.
“Kami mengusulkan dikasih ceiling [batas tertinggi] maksimumRp2.500. Subsidi tetap per liter. Ini tergantung harga minyak dunia dari waktu ke waktu. Jadi tidak fixed Rp2.500 yang dibayarkan,” ujarnya, Kamis (19/7/2018).
Dengan demikian, usulan subsidi solar untuk tahun depan berada di kisaran Rp1.500-Rp2.500 per liter. Rentang ini lebih lebar dari usulan sebelumnya – termasuk dalam keputusan rapat kerja 5 Juli 2018 – senilai Rp1.500-Rp2.000 per liter.
Kenaikan ini diajukan pemerintah bersamaan dengan rencana kenaikan besaran subsidi solar tahun ini senilai Rp2.000 per liter tanpa merevisi APBN 2018. Angka ini naik dari patokan dalam APBN 2018 yang hanya mencapai Rp500 per liter.
Untuk volume solar bersubsidi itu, Jonan mengaku asumsi tahun depan turun dari usulan awal. Tahun depan, volume Solar sebanyak 14,5 juta kiloliter, tidak bergerak dengan outlook tahun ini. Outlook tahun ini pun juga lebih rendah dari patokan APBN 2018 sebanyak 15,62 juta kilo liter.
Sekadar mengingatkan, fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung menguat tahun ini justru direspons pemerintah dengan menetapkan tidak ada perubahan harga jual eceran Solar dan Premium. Seperti diketahui, Premium merupakan bahan bakar minyak penugasan.
Untuk tahun depan, Jonan mengatakan evaluasi akan dilakuka setiap 3 bulan. Langkah yang diambil pemerintah ini, paparnya, semata-mata untuk menjaga daya beli masyarakat. Selain itu, risiko inflasi sebagai dampak ikutan juga terus menjadi pertimbangan.
Dia mengakui, kebijakan pemerintah terkait subsidi maupun penugasan lainnya ini berdampak pada cash flow PT Pertamina (Persero). Risiko defisit di sektor hilir pun ada, tapi pihaknya mengklaim pemerintah sudah mencarikan solusi.
“Kalau kita lihat, kalau tidak dinaikkan harganya [Solar dan Premium], lalu bisa terjadi defisit, saya kira iya. Secara cashflow pasti juga agak terganggu, tapi ini dicarikan jalan keluar,” ungkapnya.
Beberapa aspek yang mampu menjaga kesehatan keuangan Pertamina itu a.l. pertama, penyerahan alih kelola blok hulu migas Mahakam. Dia mengungkapkan ada produksi sekitar 150.000 BOEPD dengan rincian 50.000 BOEPD minyak dan 100.000 BOEPD gas.
Dia mengatakan diberikannya blok migas tersebut, ada potensi tambahan pendapatan bersih ke perseroan sekitar US$600 juta. Selain itu, ada 11 blok migas lainnya yang saat ini dikelola oleh perusahaan pelat merah tersebut.
“Sehingga diharapkan dari sektor hulu itu [menghasilkan] tambahan pendapatan yang bisa menutup apa yang menjadi defisit di sektor hilir atau distribusi,” katanya.
Kedua, terkait dengan harga jual eceran solar yang masih jauh dari harga pasar. Menurutnya, langkah pemerintah untuk menaikkan nilai subsidi menjadi Rp2.000 per liter cukup membantu. Pada saat yang bersaman, kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) juga berdampak.
Realisasi ICP hingga Juni 2018 mencapai US$66,55 per barel, lebih tinggi dari asumsi yang dipatok dalam APBN 2018 senilai US$48 per barel. Adapun, proyeksi tahun ini dan tahun depan masing sebesar US$65 per barel dan US$60-US$70 per barel.
“Kalau melihat realisasi ICP sampai Juni 2018, ada tambahan kelebihan pendapatan negara, mungkin sampai lebih dari 50%. Dengan uang ini, kita berikan untuk penambah subsidi solar,” papar Jonan.
Ditemui sebelumnya, Plt. Dirut Pertamina Nicke Widyawati mengatakan kenaikan subsidi tahun ini dan tahun depan memang lebih dikarenakan faktor harga. Apalagi, secara volume juga tidak ada tambahan yang signifikan, bahkan nyaris sama.
“Nilainya saja karena harga minyak,” katanya.