Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat berharap pemerintah tidak menetapkan asumsi makro yang terlalu tinggi, sehingga tidak mengurangi kredibilitas.
Sebagai informasi, pemerintah berencana untuk memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4% - 5,8% pada tahun depan, atau lebih tinggi dari target tahun ini 5,4%.
"Menurut saya itu terlalu optimistis, target pertumbuhan 5,4% tahun ini saja masih sulit dicapai," kata Direktur CORE Indonesai Mohammad Faisal kepada Bisnis, Jumat (18/5/2018).
Faisal mengatakan, meski pertumbuhan ekonomi sejauh kuartal I/2018 (5,06%) cukup baik, tapi belum berarti dapat mencapai targetnya.
Dirinya menilai komponen-komponen pertumbuhan, seperti Konsumsi rumah tangga (RT), investasi dan ekspor masih terbatas, dan diperkirakan juga hingga 2018 tidak akan mengalami pertumbuhan yang begitu signifikan. "Apalagi bisa mencapai 5,8% di 2019 tadi," imbuhnya.
Konsumsi RT, Faisal menjelaskan, sepanjang kuartal I 2018, komponen tersebut hanya tumbuh 4,95% (yoy), atau meningkat landai dari tahun sebelumnya yang hanya 4,94%.
Baca Juga
Padahal kontribusinya terhadap pertumbuhan sangat besar (56,8%), yang mana membuat pertumbuhannya sangat berati untuk mendorong pertumnbuhan ekonomi yang lebih baik.
Faisal menjelaskan, komponen konsumsi sendiri ada tiga, yakni konsumsi kelas bawah, menengah, dan atas.
Pemerintah sejauh ini hanya memfokuskan diri untuk mendorong konsumsi kelas bawah, yakni dengan program padat karya, bantuan sosial dan dana desanya. "Yang sebenarnya tidak begitu besar dampaknya, cuma 17%, ditambah juga dalam penyalurannya sering terjadi keterlambatan," katanya.
Sementara itu, konsiumsi kelas menengah atas, yang kontribusinya justru sangat besar malah sering tertekan, disebabkan oleh kebijakan pajak pemerintah yang dipandang cukup ekspansif.
Dari sisi investasi, Faisal melanjutkan, dirinnya mengakui pertumbuhan investasi bisa dijadikan motor yang cukup terpercaya untuk pertumbuhan ekonomi kedepan.
Namun, dampaknya dari investasi untuk pertumbuhan ekonomi juga tidak dapat langsung dirasakaan.
Ditambah dengan permasalah saat ini seperti, menggeliatnya pertumbuhan ekonomi Amerika, isu keamaan Indonesia yang meningkat, tahun politik, akan memberi pandangan negatif kepada investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia.
Dari sisi ekspor, Faisal mengatakan, pemerintah juga harus berhati-hati, karena masih banyaknya komoditas barang mentah dalam struktur ekspor, yakni mencapai 40%.
"Seharusnya lebih banyak lagi produk olahan, supaya tidak sering terpengaruh fluktuasi harga global, [dan lebih banyak mendapatkan nilai tambah]," katanya.
Selain itu, katanya, banyaknya ekspor komoditas barang mentah juga banyak menimbulkan masalah dinegara-negara mitra dagang.
Intinya, Faisal berharap pemerintah dapat mengkalkulasi setiap komponen pertumbuhan ekonomi lebih cermat, dan tidak hanya sekedar membangkitkan optimisme pasar, karena asumsi yang meleset dapat berdampak negatif pada kredibilitas pemerintah sendiri.