Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Diminta Disiplin Tekan Defisit

Bisnis.com, JAKARTA Pemerintah dinilai harus semakin disiplin untuk menekan defisit dengan mencari berbagai upaya untuk melakukan efisiensi anggaran dan meningkatkan penerimaan pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) berbincang dengan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sebelum mengikuti seminar ekonomi Fraksi Golkar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/2)./Antara-Doni Sentosa
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) berbincang dengan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sebelum mengikuti seminar ekonomi Fraksi Golkar di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/2)./Antara-Doni Sentosa

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dinilai harus semakin disiplin untuk menekan defisit dengan mencari berbagai upaya untuk melakukan efisiensi anggaran dan meningkatkan penerimaan pajak.

Head of Industry and Regional Research Departement Office of Chief Economist Bank Mandiri Dendi Ramdani mengatakan hal itu guna mengimbangi gejolak perkembangan global saat ini. Apalagi sejumlah poin asumsi makro sudah melesat dari yang ditetapkan pemerintah.

Salah satunya, kenaikan harga minyak memang berpotensi meningkatkan angka inflasi karena kenaikan harga bbm dari minyak mentah dunia. "Maka, upaya mengendalikan harga harga kebutuhan pokok menjadi kunci untuk mengendalikan inflasi," katanya, Kamis (17/5/2018).

Sementara itu, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai dampak yang dapat ditimbulkan nantinya adalah pada pelebaran target belanja subsidi energi.

Menurutnya, jika awalnya hanya dialokasikan Rp94,5 triliun karena asumsi kurs dan harga minyak ICP berubah signifikan kemungkinan perlu tambahan Rp10 triliun sampai dengan Rp15 triliun subsidi.

"Ujungnya perkiraan defisit anggaran pun akan berubah. Selain itu semua belanja operasional pemerintah pasti perlu disesuaikan. Biaya proyek-proyek infrastruktur juga fluktuatif bergantung dari kurs rupiah karena ada komponen bahan baku impornya," ujarnya.

Bhima menilai utang pemerintah khususnya dalam denominasi valas juga perlu disesuaikan. Dari hasil data BI tahun ini pemerintah punya kewajiban membayar ULN jatuh tempo dan bunga sebesar US$9,1 miliar. Selisih kurs tersebut akan membuat nominal utang naik.

Menurutnya, pemerintah harus lakukan perbaikan asumsi makro dan penyesuaian alokasi anggaran dalam APBN-P. Mekanisme ini nantinya bisa lebih transparan dan menjamin kredibilitas fiskal.

Menurutnya, pemerintah tidak bisa hanya berharap dari penerimaan PPh migas dan PNBP. Sebab, dengan pelemahan nilai tukar rupiah banyak sektor industri pengolahan terpukul.

"Logistic cost naik dan biaya impor bahan baku juga naik. Faktanya 31% penerimaan pajak berasal dari industri pengolahan. Jadi sangat mungkin penerimaan pajak PPh badan, dan PPN justru realisasinya dibawah target," kata Bhima.

Untuk itu, dirinya menambahkan agar tidak simpang siur, idealnya pemerintah tetap harus menjalankan mekanisme APBN-P tahun ini.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Achmad Aris

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper