Bisnis.com, JAKARTA -- Meskipun telah ditetapkan ketentuan rasio minimal kredit UMKM sebesar 20% dalam PBI No 17/12/PBI/2015, BI kembali mengukuhkan ketentuan tersebut menjadi salah satu instrumen makroprudensialnya. Kebijakan tersebut dikhawatirkan semakin mempersulit posisi perbankan.
BI berencana untuk menjadikan rasio kredit UMKM tersebut sebagai instrumen makro prudensialnya, yang mana saat ini BI hanya memiliki rasio intermediasi perbankan (RIM) dan penyangga likuiditas makroprudensial (PLM).
Rencana tersebut merupakan bentuk kepedulian otoritas moneter Indoensia terhadap perkembangan sektor UMKM.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, niat pemerintah dan BI dalam memberi prioritas terhadap UMKM perlu di apresiasi. Namun, perbankan dalam hal ini juga perlu mendapat perhatian.
"Dengan ketentuan yang ada saat ini saja masih banyak perbankan yang tidak mampu memenuhi target tersebut," katanya kepada Bisnis, Minggu (8/4/2018).
Hal tersebut dikarenakan model bisnis dari setiap bank berbeda-beda. "Ada yang memang khusus UMKM, ada yang fokus perumahan, ada yang fokus korporasi," imbuhnya.
Oleh karena itu, sangat sulit jika harus memaksakan perbankan untuk menyalurkan kreditnya kepada bidang yang tidak mereka kuasai.
Menurut David, untuk dapat ahli dalam menganalisa kredit UMKM, perbankan perlu menambah SDM, menambah jaringan, mempelajari UMKM lebih dalam lagi.
Oleh karena itu, kebijakan tersebut pasti sangat merugikan bagi beberapa perbankan.
Dia mengatakan, semenjak peraturan mengenai ketentuan tersebut berlangsung hingga akhir 2017, hanya 72 perbankan yang mampu memenuhi target tersebut, dan sisanya 42 bank masih kesulitan untuk mencapainya.
"Dengan melihat angka tersebut juga sudah bisa dikatakan bahwa UMKM yang layak mendapat kredit sudah berkurang, karena bank berkompetisi untuk memenuhi targetnya," katanya.
Dampak yang timbul, lanjut David, adalah potensi NPL yang akan lebih meningkat, dikarenakan sedikitnya UMKM yang memenuhi sayarat.
Berdasarkan data OJK, penyaluran kredit bank umum ke UMKM mencapai 18,46% dari total kredit bank umum. Total kredit bank Rp4.781,9 triliun dan kredit UMKM tercatat Rp882,9 triliun.
NPL UMKM per Desember 2017 untuk kredit UMKM sebesar 3,98% lebih tinggi dari posisi yang sama tahun sebelumnya yakni 3,95%
Menurut David, kebijakan makro prudensial seharusnya tidak membebankan, dan otoritas moneter seharusnya dapat mengajak perbankan dengan memberi reward.
"Dikasih reward saja, dikurangi GWM-nya, atau ditambah nilai compliance-nya, seperti itu lebih baik," imbuhnya.
Bahkan, lanjut David, rasio seperti ini lebih cocok jika diterapkan pada fintech, yang mana lebih paham dan mudah melakukan penetrasinya kepada UMKM. "Kan banyak bank juga yang mempunyai anak fintech," jelasnya.