Bisnis.com, JAKARTA - PT East West Seed Indonesia atau Ewindo, produsen benih sayuran hibrida, menyiapkan 30% dari total biaya operasi atau operating expenditures (Opex) pada tahun ini untuk kegiatan riset dan pengembangan (R&D).
Alokasi biaya Opex itu khususnya pengembangan sumber daya manusia di bidang pemuliaan tanaman.
"Investasi terbesar perusahaan adalah riset dan pengembangan. Tanpa didukung itu bagaimana pun canggihnya marketing yang dijalankan akan percuma saja," kata Managing Director Ewindo, Glenn Pardede di Jakarta, Kamis.
Berbicara dalam ajang LabIndonesia 2018 di Jakarta Convention Center, Gleen mengatakan, Ewindo akan mengalokasikan lebih besar lagi pada 2019 sekitar Rp150 miliar masih untuk R&D di di antaranya untuk infrastruktur DNA Marker.
Glenn menambahkan bahwa sebagai sumbangannya di bidang perbenihan Ewindo telah membangunkan pusat berbenihan (seed center) berkerja sama dengan Universitas Gajah Mada (UGM).
"Kami investasi Rp3 miliar meliputi bangunan, peralatan, dan teknologi, serta bantuan pengelolaannya. Fasilitas Pusat Perbenihan itu akan menjadi milik UGM," kata Glenn.
Dia mengungkapkan bahwa melalui pusat perbenihan tersebut Ewindo ikut melestarikan plasma nutfah sayuran asal Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya akan melakukan pendampingan sampai bisa mandiri termasuk pelatihan bagi operator di Taiwan.
Seed Center itu, menurutnya, sudah memiliki ruang pendingin (cold storage) untuk menyimpan benih beku. "Ke depan fasilitas ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan benih sampai ke tahapan komersial," papar Glenn.
Menurutnya, Indonesia seharusnya memiliki fasilitas semacam ini tujuannya untuk pengembangan varietas atau benih unggul dan berkualitas, butuh waktu 10 tahun untuk pengembangan benih sampai tahapan komersial.
Glenn menegaskan bahwa pusat R&D sangat penting mengingat penyakit dan iklim juga selalu berubah sehingga menuntut benih unggul dan berkualitas. Dia mengharapkan agar pemerintah dapat mengalokasikan biaya R&D lebih besar lagi, khususnya untuk hortikultura.
"Bicaranya kalau sudah skala nasional, tidak lagi ratusan miliar, tetapi sudah di atas triliunan untuk R&D," jelas Glenn.
Hal tersebut untuk menjawab kebutuhan akan benih unggul yang terus meningkat. Pada tahun ini diperkirakan mencapai 16.000 ton, dan baru setengahnya yang dapat dipenuhi oleh produsen benih nasional.
Teknologi untuk intensifikasi pertanian, serta penggunaan benih unggul berkualitas adalah kunci atas ketersediaan pangan pada masa depan. Biaya benih unggul sendiri hanya 3%-5% dari total biaya produksi pertanian. Hanya saja, di sisi lain untuk menghasilkan benih unggul yang berkualitas diperlukan teknologi tinggi dan biaya yang cukup besar.
Teknologi modern yang digunakan Ewindo untuk menghasilkan benih unggul berkualitas adalah teknologi penanda DNA molecular (DNA Marker).
Melalui pemanfaatan teknologi tinggi ini ada sejumlah keunggulan lebih akurat (memilih sifat unggul tanaman yang diinginkan), lebih cepat (dapat digunakan untuk memilih indukan sebelum di tanam di lapangan), lebih efisien (hanya menanam tanaman yang dibutuhkan), dan lebih aman untuk lingkungan.
Dalam menghasilkan varietas unggul berkualitas, Ewindo juga menggunakan metode customer preference based. Misalnya, penemuan varietas Tomat Servo F1. Varietas unggul ini ditemukan untuk menjawab kebutuhan konsumen terhadap tomat yang memiliki rasa lebih enak, bentuk dan ukuran yang menarik.
Dari sisi petani, varietas ini memiliki adapatasi yang luas, mampu berproduki lebih cepat dan lebih banyak.
Sejak 2 tahun lalu hingga kini, Ewindo berkolaborasi dengan Yayasan Bina Tani Sejahtera dan beberapa mitra menggelar kegiatan training atau capacity building yang dilakukan kepada petani kecil hortikultura di wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung.
Adapun, pelatihan yang diberikan berupa standar produksi benih, manajemen petani, good agricultural practices, pest and diseases management, post harvest management, dan market access.
Ewindo juga mendorong regenerasi petani melalui program petani muda panah merah. Diharapkan sedikitnya akan ada 500 petani milenial dari berbagai daerah hingga 2019.
Peneliti senior BPPT Ahmad Riyadi menyampaikan bahwa sejumlah tantangan yang dihadapai perbenihan nasional antara lain ketersedian benih bermutu yang belum mencukupi dan kelembagaan perbenihan yang belum optimal.
Dia menjelaskan, saat ini 50% benih hortikultura Indonesia sangat bergantung pada benih Impor.
"Penelitian untuk menghasilkan varietas baru yang berorientasi pasar masih terbilang masih minim. Ketersediaan benih mutu masih terbatas. Sarana produksi benih dan SDM yang masih terbatas, saat ini kita sangat tergantung benih Impor" ujar Ahmad Riyadi.
Dia menilai bahwa pemerintah di beberapa daerah juga kurang mendukung berkembangnya kelembagaan perbenihan. Hal itu ditambah pengawasan dan sertifikasi benih yang belum optimal.
"Alhasil, koordinasi antara pengembangan dan penyediaan benih belum maksimal. Misalnya, ada varietas unggul pada peneliti yang sudah dilepas, tapi belum juga dikembangkan," kata Ahmad.
Glenn menegaskan, masalah perbenihan, terutama ketersediaan benih unggul menjadi salah satu penyebab sulit bersaingnya produk buah-buahan Indonesia dibandingkan dengan produk impor.
"Apalagi, pemerintah baru menerapkan pengetatan hortikulura impor, para produsen benih kewalahan memenuhi tingkat permintaan. Produksi benih itu tidak mencukupi kebutuhan benih di tanah air," ujarnya.
Ewindo Siapkan 30 Persen Opex untuk Riset dan Pengembangan
PT East West Seed Indonesia atau Ewindo, produsen benih sayuran hibrida, menyiapkan 30% dari total biaya operasi atau operating expenditures (Opex) pada tahun ini untuk kegiatan riset dan pengembangan (R&D).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Newswire
Editor : Bambang Supriyanto
Topik
Konten Premium