Bisnis.com, JAKARTA - Kurangnya penyerapan produk hasil pemurnian di dalam negeri menjadi masalah dalam rantai peningkatan nilai tambah komoditas mineral untuk pembangunan industri nasional.
Kepala Seksi Pengawasan Kelayakan Usaha Mineral Kementerian ESDM I Made Edy Suryana mengatakan hanya sebagian kecil produk hasil pemurnian yang diserap industri dalam negeri untuk diolah menjadi logam siap pakai. Alhasil, kebutuhan logam untuk industri paling hilir masih mengandalkan ekspor.
"Dalam negeri itu demand [industri hilir] ada, tapi ada gap juga. Dari hasil fasilitas pemurnian ke produk yang siap digunakan industri dalam negeri itu yang gak ada. Itu yang perlu dikembangkan," ujarnya dalam acara focus group discussion (FGD) dengan tema Bagaimana Membangun Industri Logam Dasar dan Mineral Tambang Yang Mendukung Industri Nasional Berkelanjutan, Rabu (7/2/2018).
Dia memaparkan komoditas seperti feronikel masih diekspor. Begitu juga dengan katoda tembaga yang sebagian besar masih dijual ke luar negeri karena tidak ada industri yang menyerap di dalam negeri.
Menurutnya, selama ada kebutuhan di industri yang lebih hilir dari produk smelter, maka pengembangan smelter pun akan semakin marak. Oleh karena itu, perlu ada industri antara yang bisa mengolah produk smelter menjadi produk siap pakai.
Made menyatakan dari sisi hulu, Kementerian ESDM telah mengambil porsi dalam fase peningkatan nilai tambah untuk pengembangan industri nasional. Selanjutnya, Kementerian Perindustrian akan mengambil alih di level yang lebih hilir.
Adapun berdasarkan data dari Kementerian ESDM, hingga saat ini sudah ada 52 smelter yang terbangun. Smelter timah mendominasi dengan 29 smelter.
Namun, tutur Made, seperti beberapa komoditas lainnya, hasil pemurnian timah sebagian besar masih diekspor. Dia menyatakan dari produksi sekitar 60.000-70.000 ton per tahun, hanya 3.000-4.000 ton saja yang diserap di dalam negeri.