Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah segera membentuk holding BUMN migas dengan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) di bawah PT Pertamina yang menjadi induk holding.
Pertamina akan mendapatkan saham 57% dari PGN. Saham tersebut semula milik pemerintah. Kedua perusahaan tersebut telah membentuk tim untuk menyelesaikan tahap proses akuisisi. Proses akuisisi masih menunggu regulasi yang akan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Jika membandingkan kinerja kedua perusahaan, PGN justru menctatkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan Pertamina.
Dari laporan badan riset Center for Budget Analysis (CBA), hingga September 2017 total aset PGN mencapai US$6,3 miliar atau setara Rp83,8 triliun. PGN setiap tahunnya bisa meraup pendapatan rata-rata US$2,1 miliar atau Rp28,7 triliun.
Jika PGN menjadi holding, pemerintah sulit mengawasi PGN karena perusahaan itu cenderung tertutup
Pada 2016 PGN bisa memperoleh pendapatan US$2,9 miliar atau setara Rp38,1 miliar, jauh lebih besar dibandingkan pendapatan anak usaha Pertamina, Pertamina Gas yang US$668 juta.
Bahkan untuk Pertamina selaku induk usaha Pertagas hingga Per Desember 2017 memiliki tanggungan utang Rp153,7 triliun.
“Kinerja PGN justru lebih baik dibandingkan dengan Pertagas ataupun Pertamina. Ini artinya PGN digabungkan untuk menyelamatkan Pertamina dan Pertagas,” kata Koordinator Investigasi CBA Jajang Nurjaman pada Jumat (26/1/2018).
Menurutnya, jika PGN menjadi holding, pemerintah sulit mengawasi PGN karena perusahaan itu cenderung tertutup, seperti Pertagas. Menurutnya, holding juga menimbulkan monopoli usaha karena tidak ada lagi persaingan usaha dan pengguna.
“Jadi, tidak ada persaingan harga gas yang kompetitif yang bisa menjadi perbandingan konsumen atau masyarakat,” tutur Jajang.
Sementara itu, pemerintah mengklaim tujuan holding tersebut untuk efisiensi di sektor hulu dan hilir. Holding juga bertujuan memberi layanan terbaik kepada masyarakat selaku konsumen.