Bisnis.com, JAKARTA -- Pengamat menilai utang global yang menembus US$233 triliun pada 2017, berpotensi mengakibatkan krisis sistemik global jika tidak ditanggulangi secara benar.
Berdasarkan laporan Institute of International Finance, nilai utang global kembali mengalami kenaikan pada kuartal III/2017 dengan menembus US$233 triliun.
Adapun capaian pada Juli--September 2017 tersebut, lebih tinggi US$16 triliun dari kuartal akhir 2016.
Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa utang sektor swasta non-keuangan melonjak ke rekor tertingginya sepanjang masa di sejumlah negara. Negara-negara itu yang berutang tersebut ialah Kanada, Prancis, Hong Kong, Korea Selatan, Swiss, dan Turki.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, dampak naiknya utang negara tersebut menyebabkan risiko ekonomi global semakin meningkat.
Adapun jumlah utang dan porsinya terhadap gross domestic product (GDP); China US$1,5 triliun setara 13% GDP, Turki US$432,3 miliar setara 52% GDP, Kanada US$1,77 triliun setara 116% GDP, dan Swiss US$1,73 triliun dolar setara 265% GDP.
"Terutama di China yang sebagian utangnya berbentuk shadow banking," jelasnya kepada Bisnis, Senin (8/1/2018).
Artinya, banyak perusahaan di China bertindak sebagai pemberi pinjaman ke perusahaan lainnya, dan dikarenakan pengawasannya bukan dibawah bank sentral, potensi gagal bayarnya sangat besar.
"Kalau dibiarkan pinjaman tanpa melalui lembaga keuangan formal, bisa terjadi krisis sistemik," imbuhnya.
Bhima menjelaskan, kesulitan ekonomi China dikarenakan utang yang besar dapat berdampak ke proyek-proyek di Indonesia yang China danai.
Selanjutnya, kepanikan di pasar keuangan bisa terjadi, lalu efek terhadap rupiah bisa terdeprisiasi.