Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Arif Budisusilo

Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia

Bergabung dengan redaksi Bisnis Indonesia pada 1996. Meliput dan menulis isu ekonomi makro, entrepreneurship.Belakangan memberi perhatian pada perkembangan media dan ekonomi digital. Twitter @absusilo

Lihat artikel saya lainnya

NGOBROL EKONOMI: Bisnis Zaman Now

Jangan sampai salah hitung, apalagi under-estimated lantaran salah acuan, karena sekadar menggunakan statistik tradisional. Jangan-jangan, pergerakan bisnis zaman now ini telah jauh melampaui yang Anda kira.
CEO Bukalapak Achmad Zaky, menyampaikan paparan pada diskusi Bisnis Indonesia Economic Challenges 2018 di Jakarta, Senin (4/12). Acara tersebut mengambil tema Keseimbangan Baru Ekonomi Digital./JIBI-Dwi Prasetya
CEO Bukalapak Achmad Zaky, menyampaikan paparan pada diskusi Bisnis Indonesia Economic Challenges 2018 di Jakarta, Senin (4/12). Acara tersebut mengambil tema Keseimbangan Baru Ekonomi Digital./JIBI-Dwi Prasetya

Judul di atas, terus terang, terinspirasi dari judul presentasi CEO Bank DKI Kresno Sediarsi, saat berkunjung ke dapur koran ini Kamis (14/12/2017) siang. Kunjungan Direksi Bank DKI itu kebetulan bertepatan dengan momentum tahunan kami, di saat keluarga besar Bisnis Indonesia tengah merayakan hari ulang tahun ke-32.

Pak Kresno tidak datang sendirian, karena ditemani hampir seluruh jajaran direksi lengkap. Yang membuat saya tertarik, Pak Kresno menjelaskan posisi terkini Bank DKI dengan presentasi berjudul Akselerasi Transformasi BPD Zaman Now. Anda tentu tahu, BPD adalah kependekan dari Bank Pembangunan Daerah.

Tuntutan bisnis tampaknya ‘memaksa’ Pak Kresno menggunakan pendekatan bisnis kekinian berbasis perilaku generasi now, konsumen millenial. Karenanya, transformasi bisnis yang dilakukan pun tak lepas dari fenomena zaman now, di saat ekonomi digital seakan kian menjadi ‘panglima’.

Itulah yang kemudian dijelaskannya. Saat Gubernur DKI Jakarta menugasinya sebagai nahkoda Bank DKI pada tahun 2015 silam, kepada Kresno hanya dititipkan satu visi: menjadikan Bank DKI sebagai BCA-nya Jakarta. Lalu mewujudkan Bank DKI sebagai agen less-cash society di Jakarta Raya.

Maka, perubahan proses bisnis pun tak terelakkan, selain membenahi operasional yang excellent dan pembaruan infrastruktur teknologi. Di sinilah titik penting itu mulai terjadi.

Sebagai bukti permulaan bahwa perubahan menuju babak baru bisnis perbankan modern, Kresno pun memilih salah satu program quick win yang lebih berbasis digital. Ia memperkenalkan JakartaOne Card, Cash Management System serta Payment for subsidy.

Kartu JakartaOne merupakan bagian dari upaya untuk membuat layanan yang “relevan” dengan kebutuhan pemerintah provinsi DKI yang tengah berbenah dalam berhubungan dengan masyarakat, termasuk dalam menyalurkan cash transfer yang lebih tepat sasaran melalui program Kartu Jakarta Pintar dan program subsidi lainnya.

Tak hanya itu, Bank DKI meluncurkan JakOne Mobile, yang dapat dimanfaatkan oleh pelanggan ritel untuk berbagai keperluan pembayaran. JakOne Mobile adalah layanan berbentuk aplikasi keuangan yang mengikuti siklus kehidupan sehari-hari, mulai dari transaksi busway, kuliner, belanja online, membayar transportasi online seperti Go-Jek, membayar kuliner di Coffee Shop bahkan Warteg, maupun belanja di gerai OK-OCE Mart.

Layanan baru berbasis digital banking tersebut lebih relevan dengan perilaku konsumen zaman now. Tentu salah satu ultimate goal-nya adalah mewujudkan cita-cita less-cash society seperti diperintahkan Gubernur DKI Jakarta yang kala itu masih dijabat oleh Basuki Tjahaja Purnama.

***

Dunia bisnis, pelan namun pasti, terus melakukan transformasi untuk menyesuaikan dengan perubahan teknologi dan perilaku konsumen. Tak heran, banyak aktivitas bisnis yang kini beralih atau memperkuat platform digital.

Prinsip yang dipakai pada umumnya adalah “relevansi” dan “benefit” atau value. Layanan bisnis yang tidak relevan atau gagal dalam menawarkan benefit yang maksimal, maka akan semakin ditinggalkan pelanggan atau konsumen.

Sebaliknya, semakin relevan –baik dari sisi kebutuhan dan penggunaan teknologi—dan semakin mampu menawarkan value yang maksimal, lazimnya akan semakin digandrungi konsumen.

Prinsip ini sebenarnya tidak cuma berlaku pada bisnis digital, namun juga terjadi pada bisnis konvensional. Sekadar contoh, sekesal apa pun konsumen terhadap pelayanan penerbangan low cost carrier yang kerap terlambat, penumpang yang menggunakan penerbangan low-cost carrier tersebut tetap membeludak.

Mengapa? Harga yang murah telah menjadi benefit yang nyaris tak tergantikan, bahkan tak dapat menggantikan performa layanan yang prima, terutama untuk konsumen kebanyakan. Terlebih, relevansinya dengan mobilitas konsumen yang kini semakin tinggi antarkota maupun antarpulau.

Apalagi apabila benefit dan relevansi itu semakin kuat, dan dengan relatif lebih mudah dapat diwujudkan melalui platform digital. Mulai dari cara pemesanan, pembayaran dan bahkan delivery-nya.

Maka, tak mengherankan, transportasi online kini menjadi penguasa jalanan di Jakarta. Transportasi online sudah pasti menawarkan dua hal sekaligus, relevansi dan benefit tadi. Relevan karena kemacetan Jakarta yang begitu parah yang diimbuhi dengan kemudahan order melalui perangkat aplikasi mobile. Benefit tinggi karena harga yang jauh lebih murah ketimbang transportasi konvensional.

Begitu pun belanja online, yang tampaknya terus menanjak naik di Indonesia. Banyak pengalaman mengisahkan bahwa kecenderungan belanja online terbentuk oleh kemudahan transaksi dan harga yang jauh lebih murah, kadang bahkan sampai 60% di bawah harga transaksi di outlet konvensional.

Begitu pun untuk keperluan pembelian tiket pesawat dan pemesanan kamar hotel. Anda akan mendapatkan harga kamar hotel yang jauh lebih murah melalui OTA alias online travel agen, bahkan rata-rata di kisaran 60% dari harga publish rate. Sudah begitu, pesan bisa dilakukan melalui perangkat mobile Anda.

Sudah barang tentu, fenomena “bisnis zaman now” ini telah membuat pusing tujuh keliling bagi penyedia bisnis konvensional yang enggan berbenah, mulai dari bisnis transportasi, bisnis ritel hingga hospitality termasuk perhotelan.

***

Yang pasti, bisnis zaman now terus berkembang. Terutama bagi mereka yang mampu memanfaatkan penetrasi teknologi yang mengubah perilaku konsumen dengan lebih relevan.

Maka, suka tak suka, bisnis lama harus menerima dampak disruptif yang kadang menyakitkan. Namun, seberapa besar sesungguhnya efek disrupsi telah terjadi? Sampai hari ini, sayangnya tidak tersedia data valid yang bisa mengonfirmasikan proses disrupsi tersebut.

Data terbaru yang dilansir dari aktivitas Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) pada 12.12 lalu barangkali bisa dijadikan salah satu gambaran betapa proses peralihan ke platform digital berlangsung begitu cepat.

Sekadar contoh bisa disebutkan beberapa laporan situs dagang online seperti Lazada, Bli-Bli, bahkan Gramedia Digital yang mengalami lonjakan transaksi gross merchandise value pada Harbolnas 2017, dengan kisaran kenaikan dari 2,5 kali (250%) hingga 40.000% dibandingkan Harbolnas 2016 lalu.

Angka masing-masing perusahaan memang tidak di-disclose, tetapi sebagai gambaran pada saat momen Online Revolution pada 11.11 lalu, Lazada mengklaim telah membukukan total transaksi lebih dari Rp1,6 triliun hanya dalam satu hari ajang promo belanja itu.

Data yang dikompilasi Adrian Panggabean, Chief Economist CIMB Niaga, juga menyebutkan bahwa omzet Harbolnas terus melonjak dari tahun ke tahun, dengan kenaikan 4 kali lipat dalam 3 tahun, bahkan mencapai 60 kali lipat dalam 5 tahun. Angkanya bergerak dari Rp67,5 miliar pada 2012 menjadi Rp1,1 triliun pada 2014, Rp2,1 triliun (2015), Rp3,1 triliun pada 2016 dan Rp4 triliun pada 2017.

Menurut perkiraan Adrian, total transaksi online mencapai Rp450 triliun setahun dari sekitar 250 situs dagang online. Jika nilai PDB sekitar Rp13.000 triliun, maka omset penjualan e-commerce tersebut berada di sekitar 3,5% dari PDB.

Rasio ini tak terlalu jauh dengan kondisi di Amerika yang mencapai 6%-8%. Jadi, menurut dia, e-commerce Indonesia sebenarnya sudah besar secara relatif. Sayangnya, Adrian menggarisbawahi, data ini tidak tertangkap oleh teknik pengumpulan data yang dimiliki BPS saat ini.

Saya tentu setuju dengan cara pandang Adrian. Yang jelas, data konvensional yang dimiliki berbagai lembaga statistik –pemerintah melalui Badan Pusat Statistik, maupun swasta—semakin kurang relevan untuk membedah profil ekonomi digital.

Terlebih, kini semakin banyak perusahaan mengembangkan model bisnis berbasis digital. Perusahaan yang mengadopsi praktik bisnis zaman now itu bervariasi dari berbagai skala mulai UMKM hingga perusahaan besar. Mulai dari sektor consumer, hingga sektor keuangan dan perbankan. Mulai dari situs dagang online yang besar, hingga akun media sosial perorangan. Semua itu relatif sulit tertangkap perangkat statistik konvensional.

Maka, jangan sampai salah hitung, apalagi under-estimated lantaran salah acuan, karena Anda sekadar menggunakan statistik tradisional. Jangan-jangan, pergerakan bisnis zaman now ini telah jauh melampaui yang Anda kira. Jadi, bagaimana menurut Anda?(*)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arif Budisusilo
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper