Bisnis.com, JAKARTA—Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bertujuan memudahkan produk dalam negeri menembus pasar ekspor.
Nifasri, Kepala Pusat Kerja sama dan Standardisasi Halal BPJPH Kementerian Agama, mengatakan selama ini produk nasional mendapat sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kendati demikian, produk yang tersertifikasi oleh MUI sulit menembus pasar ekspor karena MUI merupakan ormas, sehingga tidak diakui oleh beberapa negara.
“Oleh karena itu, pemerintah hadir dengan membentuk BPJPH. Pembentukan dan proses sertifikasi halal melalui BPJPH ini bertujuan membantu pelaku usaha, bukan memberatkan,” ujarnya dalam seminar Strategi Pengembangan Industri Jamu di Jakarta, Selasa (12/12/2017).
BPJPH yang merupakan lembaga pelaksana sertifikasi baru diresmikan pada 11 Oktober 2017. Badan ini dibentuk berdasarkan UU No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal dan mulai beroperasi mulai awal 2018. Setelah badan ini terbentuk, MUI bertugas memberikan fatwa halal yang kemudian disampaikan kepada BPJPH untuk penetapan sertifikasi halal.
Nifasri menyatakan Indonesia terhitung terlambat dibandingkan dengan negara lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura, dalam menjamin produk halal bagi masyarakat, terutama yang beragama Islam. Padahal, jumlah penduduk muslim Indonesia merupakan yang terbesar di dunia.
Menurutnya, setelah diresmikan, beberapa perwakilan negara lain segera menawarkan kerja sama untuk proses sertifikasi halal. Lebih jauh, dia menyatakan para pelaku industri tidak perlu khawatir dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikasi halal dari BPJPH.
“Untuk industri menengah dan besar biayanya Rp2,8 juta, sedangkan untuk kecil lebih rendah,” katanya.
Adapun, pemerintah menargetkan pada periode 2017—2019 terjadi masa transisi dari sertifikasi sukarela menjadi sertifikasi wajib dan pada 2019 seluruh produk di Indonesia telah memiliki sertifikat halal atau non halal. Sertifikat yang dikeluarkan BPJPH berlaku selama 4 tahun.