Bisnis.com, JAKARTA -- Hakim Agung Surya Jaya mengemukakan penegakan hukum tindak pidana perikanan kerap terbentur berbagai persoalan yuridis.
Menurut dia, proses peradilan kerap menemui kesulitan menghadirkan atau memproses pemilik korporasi yang berada di luar teritorial iIndonesia, padahal dia diduga melakukan tindak pidana di zona ekonomi eksklusif (ZEE).
"Kesulitan lain, untuk pengembalian hasil kekayaan yang telah diambil secara ilegal. Terlebih lagi ketidakjelasan penentuan titik koordinat dan locus delicti [tempat kejadian perkara], apakah di ZEE atau di laut bebas," paparnya di sela-sela pelatihan International Fish Force Academy of Indonesia (IFFAI) ke-2, Senin (11/12/2017).
Di sisi lain, sistem peradilan perikanan dengan menggunakan pendekatan multirezim masih sulit diterapkan, misalnya untuk menyelesaikan tindak pidana perikanan, tindak pidana pencucian uang, dan perdagangan orang sekaligus. Kondisi itu menjadi tantangan yang harus segera dipecahkan.
Melihat permasalahan yang masih melingkupi pengadilan perikanan, Surya keberatan jika pengadilan perikanan di daerah terus ditambah. Pengadilan perikanan pertama kali dibentuk pada 2004, sebagai amanat UU No 31/2004 tentang Perikanan.
Hingga kini, sudah ada 10 pengadilan perikanan di berbagai daerah, yakni di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, Tual, Tanjung Pinang, Ranai, Ambon, Sorong, dan Merauke.
"Sebaiknya dikaji mendalam karena pembentukan pengadilan perikanan masih menyisakan permasalahan. Ada pengadilan perikanan yang belum berfungsi efektif," kata Surya.