Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah tidak dapat mengizinkan kapal pengangkut asing memuat ikan hidup dari beberapa pelabuhan muat singgah karena bertentangan dengan asas cabottage.
Menurut Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto, kapal pengangkut ikan hidup asing beroperasi selayaknya maskapai asing yang boleh mendarat hanya di satu titik.
"Bukan saya, negara yang melarang itu. Seperti halnya pesawat. Saudi Arabia Airlines, apa dia boleh mengangkut penumpang dari Jakarta ke Jogja, dari Jogja kemudian ke Bali? Kan enggak boleh. Di Jakarta, ya Jakarta saja," ujarnya, Jumat (20/10/2017).
Menurut dia, pembatasan kapal angkut asing memuat ikan hidup hanya dari satu pelabuhan muat singgah justru merangsang pengusaha lokal membangun kapal-kapal feeder untuk mengangkut kerapu dari lokasi usaha pembudidayaan ke pelabuhan muat singgah.
Dia menyebutkan jumlah kapal pengangkut ikan hidup hasil budidaya hingga Oktober berjumlah 27 unit atau lebih banyak dari angka 2015 --sebelum kapal pengangkut ikan hidup diatur-- yang hanya 21 unit. Jumlah kapal pengangkut saat ini terdiri atas 13 kapal berbendera asing dan 14 kapal berbendera Indonesia.
"Saya akan mengimbau pengusaha-pengusaha lokal untuk memperbanyak kapal-kapal pengangkut di dalam negeri yang bisa mengangkut dari Bali, Situbondo, sehingga prospek pengangkutan di dalam negeri akan naik," ujar Slamet.
Seperti diketahui, pembudidaya kerapu ingin agar pemerintah mengizinkan kapal pengangkut asing memuat ikan dari beberapa pelabuhan muat singgah untuk mengatasi penumpukan stok di lokasi budidaya. Dengan demikian, harga ikan karang itu bisa stabil.
Agung Sembodo, pembudidaya kerapu di Situbondo, Jawa Timur, sekaligus Ketua Perhimpunan Pengusaha Budidaya Keramba Jaring Apung mengungkapkan semangat pembudidaya di Kota Kerapu lunglai akhir-akhir ini karena harga kerapu anjlok menjadi Rp90.000 per kg. Pembudidaya di kabupaten itu enggan beraktivitas. Dari sekitar 3.000 lubang keramba jaring apung (KJA) di Situbondo, hanya 20% yang terisi.