Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Holding BUMN Migas Diragukan Ciptakan Efisiensi

Diskursus pembentukan induk usaha (holding) di sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali memanas di linimasa. Sejumlah pihak menilai, penerapan holding BUMN bakal menjadi sentimen negatif jika pemerintah tidak berhati-hati dalam mengimplementasikan konsep tersebut.
Petugas Pertamina melakukan pemeriksaan rutin di Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Juanda, Sidoarjo, Jatim./JIBI-Wahyu Darmawan
Petugas Pertamina melakukan pemeriksaan rutin di Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Juanda, Sidoarjo, Jatim./JIBI-Wahyu Darmawan

Bisnis.com, JAKARTA — Diskursus pembentukan induk usaha (holding) di sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali memanas di linimasa. Sejumlah pihak menilai, penerapan holding BUMN bakal menjadi sentimen negatif jika pemerintah tidak berhati-hati dalam mengimplementasikan konsep tersebut.

"Harus dipahami bahwa tidak ada formula tunggal dalam pembentukkan holding, karena setiap BUMN punya karakteristik masalah dan sejarah sendiri. Jadi, upaya peningkatan efisiensi yang ditujukan dalam konsep holding pun harus berbeda-beda," ujar ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, Jumat (20/10/2017).

Faisal menyontohkan, tujuan menciptakan value creation dalam pembentukkan holding BUMN Pertambangan tak akan berarti jika PT Bukit Asam (Persero) Tbk., PT Aneka Tambang (Persero) Tbk., PT Timah (Persero) Tbk., digabungkan dalam satu induk usaha. Selain memiliki komoditas tambang yang berbeda-beda, katanya, kegiatan pertambangan di setiap komoditas juga memiliki tingkat kesulitan dan nilai investasi yang beragam.

Tak ayal, dengan fakta tersebut, Faisal memandang amat mustahil menciptakan value creation di sektor pertambangan. Begitu pun dengan konsep holdingisasi di sektor migas yang ditargetkan pemerintah bisa rampung akhir tahun ini.

"Kalau lihat sejarahnya, Pertamina memang diberikan tugas untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus menjalankan fungsi PSO. Sangat berbeda dengan tugas yang diemban PGN yang kini sudah menjadi perusahaan terbuka," imbuhnya.

Kusdhianto Setiawan, Wakil Dekan Bidang Keuangan, Aset dan Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomika & Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai, holdingisasi BUMN di sektor migas tidak akan mencapai tujuan efisiensi dalam hal penggunaan dana investasi. Pasalnya, beberapa bidang usaha seperti yang digeluti Pertamina dan PGN memang membutuhkan investasi yang besar jika mau berkembang.

“Sekarang PGN dan Pertagas punya aset sendiri, lalu dengan digabungkan harapannya bisa efisiensi dan membuat struktur modal yang lebih baik. Tetapi efisiensi dalam operasi bisnisnya belum tentu. PGN sudah punya jalur distribusi sendiri, Pertagas juga. Kalau disatukan, asetnya tetap sulit digabungkan,” katanya.

Berangkat dari hal itu, Kusdianto pun meminta pemerintah berpikir seksama perihal penggabungan dua BUMN tadi, mengingat sejak wacana penggabungan PGN ke tubuh Pertamina digulirkan harga saham PGAS terus merosot dari level 6.050 pada awal 2016 ke level 1.460 dalam beberapa hari terakhir.

Tak pelak, katanya, pemerintah sendiri yang nantinya mengalami kerugian atas penurunan aset dari jatuhnya harga saham emiten berkode saham PGAS itu.

“Saat sering diberitakan, muncul ketidakpastian bagi investor. Risiko pasarnya naik, sehingga pada November harganya turun jadi Rp 2.300 per saham. Ini akibat wacana soal holdingisasi dan merger yang belum matang tetapi sudah dilempar ke publik.”


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper