Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah membutuhkan partisipasi swasta dalam proyek infrastruktur air bersih.
Direktur Sektor Air dan Sanitasi Komite Percepatan dan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Henry BL. Toruan mengatakan peran swasta diperlukan lantaran terbatasnya anggaran negara dalam pembangunan proyek tersebut.
Tak hanya itu, peran swasta juga diharapkan bisa meningkatkan rasio cakupan layanan (service coverage ratio) air bersih di masyarakat. “Service coverage ratio air bersih di beberapa wilayah masih rendah sekitar 60%,” ujar Henry melalui keterangan resmi yang dikutip Bisnis, Minggu (15/10/2017).
Meskipun membutuhkan keterlibatan swasta, jelasnya, untuk penguasaan air baku baik di hulu maupun distribusi air hingga ke masyarakat di hilir tetap dipegang oleh BUMN/BUMD.
“Ini menunjukkan bahwa kekuasaan atas sumber daya air tetap berada di tangan negara,” jelasnya.
Adapun, pemerintah tengah menggarap delapan proyek air bersih yang saat ini masih berlangsung.
Dalam kesempatan yang sama, Henry menyinggung adanya putusan Mahkamah Agung No. 31K/Pdt/2017 tentang Sengketa Pengelolaan Air Minum di Jakarta.
Meski adanya putusan tersebut, tetapi Henry mengatakan hal itu tidak akan berdampak pada proyek infrastruktur air minum yang tengah digarap oleh pemerintah.
Pasalnya, keputusan MA tersebut hanya mempertegas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015 yang menganulir UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air dan kembali kepada UU No.11/1974 tentang Pengairan.
“Putusan MA ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak keluarnya putusan MK yang mencabut UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air dan akhirnya kita kembali pada UU No. 11/1974 tentang Pengairan, semua proyek SPAM sudah berlandaskan pada putusan MK tersebut. Jadi partisipasi swasta dalam proyek infrastruktur SPAM sudah menyesuaikan dengan UU No. 11/1974,” katanya.