Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia, GINSI, mendesak tarif/biaya layanan bongkar muat atau OPP/OPT kargo non peti kemas atau breakbulk di dermaga konvensional pelabuhan Tanjung Priok Jakarta agar dirumuskan ulang atau dievaluasi.
Tarif yang berlaku saat ini sudah lebih dari lima tahun dan dinilai GINSI telah kedaluarsa.
Ketua BPD GINSI DKI Jakarta Subandi mengatakan sampai sekarang masih terdapat beberapa biaya di pelabuhan Priok yang kedaluarsa dan perlu di evaluasi, baik struktur maupun besarannya.
Tarif yang dimaksud,imbuhnya, adalah tarif OPP (Ongkos Pelabuhan Pemuatan ) dan OPT ( Ongkos Pelabuhan Tujuan ) untuk kegiatan bongkar muat kargo jenis break bulk di terminal konvensional Priok.
"Tarif OPP/OPT harus benar-benar dihitung secara transparan dan bisa dipertanggung jawabkan, baik dari aspek tata hitungnya maupun struktur dan golongan nya," ujarnya kepada Bisnis,Minggu (1/10/2017).
Dia menyebutkan, tarif OPP dan OPT yang berlaku namun sudah kedaluarsa saat ini tidak transparan dan tidak mencerminkan rasa keadilan serta tidak mendorong upaya meningkatkan produktifitas yang tinggi karena biayanya sama untuk semua jenis komoditas.
Baca Juga
Padahal, kata Subandi, masing-masing komoditas memiliki karakteristik dan produktivitas yang berbeda saat dimuat ataupun dibongkar di dermaga pelabuhan.
"Belum lagi soal ada kewajiban bagi hasil/sharing ke PT.Pelabuhan Tanjung Priok sebesar 40% yang tidak jelas dari mana menghitungnya jika kegiatan bongkar muat dilakukan oleh perusahaan pongkar muat swasta atau mitra BUMN itu," tuturnya.
Oleh karenanya, kata dia, GINSI menyarankan agar secepatnya dilakukan evaluasi dan disepakati kembali tarif hasil evaluasi yang terbaru mengingat tarif yang saat ini sudah kedaluarsa.
"Kalau pakai tarif yang sudah kedaluarsa bisa dikategorikan kegiatan bongkar muat kargo breakbulk di Priok itu ilegal," ujar dia.