Bisnis.com, JAKARTA - Pemberlakuan sistem pembayaran jasa Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) di sejumlah terminal peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, yang kini menggunakan hitungan tarif per boks kontainer, diminta ditinjau ulang.
Peninjauan ini dimaksudkan agar pola kemitraan yang dibangun antara Koperasi Karya Sejahtera TKBM (KSTKBM) dengan pihak terminal peti kemas terjalin hubungan yang saling menguntungkan sehingga tidak merugikan buruh bongkar muat.
"Kami sudah evaluasi menyeluruh terhadap penerapan sistem tarif per boks kontainer. Karena itu kami mendesak agar Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) antara koperasi dengan pihak terminal peti kemas khususnya JICT dan TPK Koja ditinjau ulang,” ujar Usup Karim, Sekjen Serikat Tenaga Kerja Bongkar Muat (STKBM) kepada Bisnis.com, Selasa (13/9/2017), di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta.
Evaluasi dimaksud, menurut Usup, menyangkut rendahnya produktivitas terminal peti kemas selama dua bulan terakhir, membuat pendapatan koperasi menurun drastis.
Apalagi saat terjadi mogok kerja di Jakarta International Container Terminal (JICT) yang membuat aktivitas bongkar muat lumpuh. Begitu pun di TPK Koja yang pada saat kebanjiran limpahan kapal dari JICT menyebabkan turunnya produktivitas kegiatan bongkar-muat.
Padahal, meski produktivitas terminal peti kemas turun, koperasi harus tetap membayar upah TKBM dalam jumlah yang sama. Kondisi inilah yang memicu tersendatnya pembayaran upah kepada TKBM.
Usup menjelaskan, STKBM mengusulkan tiga perbaikan dalam KKB yang ditandatangani antara pihak koperasi dan manajemen terminal peti kemas.
Pertama, adanya ketentuan produktivitas minimal terminal peti kemas. Jika produktivitas di bawah standar, pembayaran upah TKBM dibebankan kepada terminal peti kemas berdasarkan upah harian. Sistem pembayaran bisa kembali kepada perhitungan boks kontainer jika produktivitas mencapai standar minimal 27 boks kontainer per jam.
Kedua, merevisi besaran tarif jasa bongkar muat yang dibayarkan kepada TKBM. Tarif yang disepakati berdasarkan produktivitas ketika masih diberlakukan upah harian.
Usup mencontohkan, jika saat diberlakukan upah harian, terminal peti kemas mengeluarkan biaya sebesar x rupiah untuk sekian ribu boks kontainer per bulan, berarti tinggal membagi biaya x tersebut dengan jumlah box kontainer dalam satu bulan. Angka yang muncul ini ditambah biaya-biaya lainnya kemudian dijadikan acuan penetapan tarif.
"Perubahan sistem pembayaran seharusnya tidak dimaksudkan mengurangi kesejahteraan pekerja TKBM. Selama ini dengan sistem pembayaran per box kontainer mengesankan pihak terminal peti kemas memangkas pengeluaran biaya TKBM,” paparnya.
Ketiga, meski perubahan hitungan per box kontainer bersifat business to business (b to b) antara koperasi dengan pihak terminal peti kemas, hendaknya tetap melibatkan serikat pekerja dalam melakukan pembahasan tarif. Hal ini agar tetap sejalan dengan KM 35/2007 mengenai penggunaan tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan.
“Prinsipnya, sistem apapun yang diberlakukan, STKBM akan mendukung sepanjang tidak merugikan kesejahteraan TKBM,” ujar dia. (K1)