JAKARTA—Industri pengolah kakao optimistis mampu menggenjot kapasitas terpakai sampai di atas 50% pada tahun ini di tengah perlemahan harga biji kakao internasional.
“Tapi kenaikan utilisasi itu juga mau tidak mau dibarengi kenaikan impor yang luar biasa,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia Sindra Wijaya di Kementerian Perindustrian, Selasa (5/9/2017).
Menurutnya, pabrikan bakal meningkatkan impor tiga kali lipat pada tahun ini lantaran semakin sulit memperoleh bahan baku lokal. Sebagai gambaran, industri mengimpor sebanyak 61.000 ton biji kakao untuk pemenuhan bahan baku. “Rasanya impor biji kakao tahun ini bisa menembus 180.000 ton.”
Kenaikan impor bahan baku itu salah satunya merupakan dampak dari penghapusan anggaran pemerintah pada program penanaman kembali kakao. Dengan demikian, produksi biji kakao pada tahun ini diperkirakan merosot ke bawah 300.000 ton. “Artinya industri dalam negeri menjadi sangat bergantung terhadap biji kakao impor.”
Ketersediaan pasokan biji kakao domestik untuk industri pada tahun lalu sebesar 340.000 ton. Adapun, produksi kakao olahan hanya kurang dari separuh kapasitas terpasang sebesar 800.000 ton.
Sindra menginginkan agar pemerintah segera mengubah skema bea keluar biji kakao menjadi tarif tetap sebesar 15%. “Artinya dengan demikian berapa pun harga biji kakao di pasar global, kakao yang diekspor tetap kena bea keluar 15%.”
Menurutnya penetapan tarif flat dapat memberikan kepastian bagi industri untuk memperoleh bahan baku lokal. “Daripada Indonesia cuma ekspor mentah, nilai tambahnya kan menjadi lari keluar. Bagi kami itu yang menjadi dilema sekali, industri kekurangan bahan baku,” ujarnya.
Sindra menyatakan kekurangan pasokan bahan baku tersebut mengakibatkan persaingan yang tidak sehat bagi sesama pelaku industri. Perusahaan pengolah kakao saling memperebutkan bahan baku lokal dari petani.
“Dan dampaknya otomatis investasi baru tidak akan pernah ada lagi. Bagaimana mungkin masuk lagi investor baru saat bahan bakunya tidak ada. Sekarang saja hanya 50% pabrik pengolah kakao saja yang masih produksi. Sisanya setop produksi karena enggak ada bahan baku,” ujarnya.