JAKARTA— Kondisi pasar modal menjadi hal yang harus diwapadai ditengah carut marut geopolitik Amerika dan Korea Utara.
Hal ini dikemukakan oleh Ekonom Indef Bhima Yudhistira yang mengatakan dampak konflik disemenanjung korea dalam jangka pendek saat ini lebih banyak berimbas ke pasar modal.
Kata Bhima, pascaekskalasi konflik politik AS dan Korut bursa saham disebagian besar wilayah Asia ditutup melemah. Bahkan dampaknya terus memburuk hingga ke Indonesia. IHSG tercatat turun pada sesi hari ini sebesar 0,86%.
“Banyak investor asing yang mulai keluar dari bursa negara asia. Gelombang capital outflow dampaknya cukup berisiko bagi stabilitas sektor keuangan karena 60% lebih saham di Indonesia dimiliki oleh asing. Bukan hanya berdampak pada saham, hal ini juga berdampak negatif terhadap surat utang karena 39% surat utang dikuasai asing,” kata Bhima kepada Bisnis.com, Senin (4/9/2017).
Dalam hal ini, dia mengatakan arus modal yang masuk ke Indonesia per Agustus hanya mencapai Rp115 triliun atau menurun dibandingkan dengan Agustus tahun lalu yang angkanya mencapai Rp137 triliun.
“Kalau kondisi memanas, aliran modal masuk akan tertahan. Investasi 2017 terancam turun. Banyak investor yang keluar dari bursa Asia dan pindah ke pasar lain misalnya AS dan Eropa. Nasdaq, S&P 500 serta Dow Jones semuanya menguat. Peralihan investor juga akan masuk ke instrumen valas trutama dolar dan emas alias terjadi flight to quality. Ini yang membuat rupiah anjlok hingga berada di level Rp13.361 per dolar di sesi penutupan pasar minggu lalu dari sebelumnya Rp13.333,” terangnya.
Tak hanya kondisi pasar modal yang harus diwaspadai, masalah geopolitik antara AS-Korut pun tentu akan berdampak pada ekspor dan kontraksi pada pertumbuhan ekonomi.
Menurutnya, ekspor Indonesia yang sebelumnya mulai pulih bisa terganggu terutama ekspor ke China dan Jepang akibat jalur pelayaran logistiknya terpengaruh konflik.
Biaya logistik diperkirakan meningkat karena ada perubahan rute pelayaran menghindari daerah yang berpotensi dijadikan sasaran percobaan rudal nuklir Korut.
“Yang harus dilakukan saat ini adalah menyiapkan strategi terburuk atau worst scenario terhadap perekonomian Indonesia. Pengalihan tujuan ekspor bisa mulai dilakukan ke negara lain seperti Afrika dan Timur Tengah,” jelasnya.
Kemudian, otoritas moneter juga dirasa perlu untuk terus mencermati dampak krisis di semenanjung korea terhadap kurs rupiah dan pasar finansial.
Hal ini diharapkan agar konflik tidak berlanjut menjadi kontak fisik yang akan merugikan perdagangan maupun investasi di kawasan Asia.
“Tapi soal dampak fiskal secara global kalau perdagangan dan investasi terganggu efeknya ke penurunan ekspansi fiskal terutama di China dan Jepang. Nah China kan sedang ekspansi melalui BUMN dan CDB-nya ke Indonesia. Mungkin akan berpengaruh ke proyek-proyek infrastruktur yang sedang dikerjakan di Indonesia. Cuma terlalu dini menyimpulkan ke sana,” pungkasnya.
Sementara itu, Ekonom SKHA institute for Global Competitiveness Eric Sugandi beranggapan konflik tersebut hanya berdampak terbatas dan hanya dalam jangka pendek selama tidak ada eskalasi konflik.
“Bisa ganggu indeks bursa saham, misalnya, karena pengaruh regional tapi tidak lama. Jika bener-benar terjadi perang, baru ada dampak yang signifikan ke perekonomian Indonesia. Tapi peluncuran misil tadi pagi tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Saya masih tidak yakin akan ada perang antara Korut vs AS dan sekutunya,” katanya.
Dalam hal ini, dia menilai walaupun di atas kertas AS akan menang, tapi bisa besar korban jiwanya karena Korut bisa menjadikan Korsel dan Jepang sebagai sasaran.
“Ini masuk ke kalkulasi AS. Tapi tentunya AS akan membalas jika Korut menyerang duluan. Bagi Jong Un, cost-nya juga besar untuk memulai perang. Kalau Korut kalah, otomatis regimnya berakhir,” pungkasnya.