Bisnis.com, JAKARTA—Penerapan standar nasional Indonesia (SNI) masih belum sepenuhnya berhasil. Peningkatan tingkat kepatuhan industri menjadi pekerjaan bersama yang harus diselesaikan.
Wahyu Purbo, Kepala Pusat Sistem Penerapan Standar Badan Standar Nasional, mengatakan SNI terbagi menjadi SNI sukarela dan SNI wajib. Untuk SNI wajib tentu menjadi keharusan setiap perusahaan untuk menerapkan dalam produknya, sedangkan untuk SNI sukarela tidak ada keharusan tersebut.
"Kalau SNI wajib, semua produk diharapkan memenuhi syarat mutu sesuai SNI dan regulasi. Untuk sukarela, beberapa ada yang tingkat pemenuhan SNI-nya tinggi, ada yang rendah," ujarnya kepada Bisnis.com, Rabu (30/8/2017).
Merujuk pada data Hasil Monitoring Integritas Tanda SNI 2016, dari tiga produk yang terkena SNI wajib, belum ada yang 100% yang memenuhi. Sebanyak 99 sampel dari tiga produk tersebut, hanya 30,30% yang memenuhi persyaratan SNI, sedangkan sisanya tidak memenuhi.
Apabila dirinci, tiga produk yang dikenakan SNI wajib tersebut adalah kotak kontak, ban dalam sepeda motor, dan tepung terigu. Untuk kotak kontak, dari 24 sampel, sebanyak lima sampel memenuhi syarat, sedangkan sisanya atau sebanyak 19 sampel tidak memenuhi.
Untuk ban dalam sepeda motor, dari 40 sampel, sembilan sampel atau 22,50% telah memenuhi persyaratan SNI, sisanya sebanyak 31 sampel tidak lolos uji. Sementara itu, dari 35 sampel tepung terigu yang diuji, 16 sampel lolos uji SNI dan 19 sampel lainnya tidak memenuhi persyaratan.
Hasil monitoring tersebut juga menunjukkan pengujian terhadap 20 sampel produk beras yang SNI-nya bersifat sukarela, sebesar 95% telah memenuhi persyaratan. Hanya satu produk yang gagal dalam memenuhi parameter butir menir.
Secara total, Wahyu menyatakan hasil survei BSN menunjukkan angka rata-rata pemenuhan SNI sukarela di produk makanan berada di level 46%. Dia juga menyebutkan Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah melakukan survei penerapan SNI sukarela yang hasilnya bervariasi.
"Produk ikan dalam kaleng, sebelum diwajibkan, comply 100%, sedangkan produk rumput laut hanya sekitar 16%," katanya.
Adapun, BSN merupakan lembaga negara yang dibentuk dengan Keputusan Presiden No.13 Tahun 1997. Dalam melaksanakan tugasnya, BSN berpedoman pada Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
Wahyu menjelaskan dalam merumuskan SNI, terdapat tim khusus BSN yang disebut komite teknis. Komite ini terdiri dari regulator, produsen, konsumen, dan pakar. Saat ini, jumlah komite teknis ada sekitar 140 unit yang sekretariatnya tersebar di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah. BSN, lanjutnya, hanya membawahi sekitar 30 sekretariat.
"Lainnya, berada di kementerian atau lembaga pemerintah. Jadi, otomatis mereka juga mengusulkan parameter yang ada di SNI," jelasnya.
Sedangkan keputusan wajib tidaknya SNI tergantung kepada kementerian atau lembaga pemerintah. Dalam menetapkan wajib SNI, tidak jarang kementerian atau lembaga pemerintah mewajibkan secara penuh, bahkan ada juga yang menambahkan parameter.
"Ada pula yang hanya beberapa, tergantung tujuan mewajibkannya. Teorinya, harus terkait dari sisi K3L, keselamatan, keamanan, kesehatan, dan fungsi lingkungan hidup," ujarnya.