Bisnis.com, JAKARTA—Pelaku industri kakao mengkhawatirkan kenaikan impor bahan baku dan berharap pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk mengatasi hal ini.
Pieter Jasman, Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), mengatakan peningkatan impor biji kakao telah terjadi sejak 2014 ketika impor bahan baku cokelat mencapai 109.000 ton. Tren peningkatan impor tersebut dapat mengancam daya saing produk dalam negeri.
“Untuk negara lain tidak dikenakan bea masuk untuk impor biji kakao. Apalagi, bea masuk produk kakao olahan ke Indonesia dari negara kawasan Asia Tenggara saat ini 0% sejak diberlakukannya AFTA, ini membuat impor kakao olahan juga melonjak tinggi,” ujarnya kepada Bisnis.com, Minggu (27/8/2017).
Merujuk data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), selama Januari 2017 hingga Juli 2017 impor biji kakao mencapai 132.276 ton atau naik 183,86% secara tahunan dari 46.598 ton. Pieter memperkirakan hingga akhir tahun, impor biji kakao bisa mencapai 180.000 ton. Angka tersebut bakal menjadi rekor tertinggi impor biji kakao sepanjang sejarah.
AIKI sendiri mencatat selama semester I/2017, ekspor kakao olahan naik 6% secara tahunan menjadi 138.365 ton. Namun, angka pertumbuhan impor kakao olahan lebih besar, yaitu 29% y-o-y menjadi 14.199 ton.
Lebih jauh, dia menuturkan saat ini dapat dikatakan industri kakao sedang mengalami krisis pasokan bahan baku karena dari kapasitas terpasang yang mencapai 800.000 ton per tahun, produksi biji kakao nasional saat ini hanya 340.000 ton. AIKI meminta perhatian serius dari pemerintah, terutama menteri pertanian agar memperhatikan komoditi perkebunan, seperti kakao yang selama ini menyumbang devisa lebih dari US$1 miliar per tahun.
Menurutnya, peningkatan produksi biji kakao nasional menjadi satu-satunya solusi untuk menjaga industri cokelat dalam negeri. “Dulu industri pernah mengusulkan keringanan bea masuk biji kakao, tetapi ditolak oleh Kementerian Pertanian dengan alasan bea masuk diperlukan untuk melindungi petani,” jelasnya.